Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Makalah Viktimologi

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENCEMARAN INDUSTRI

A. Pendahuluan

Sebenarnya dalam sistem hukum pidana dimungkinkan pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana yang penyelesaiannya dikaitkan sekaligus dalam satu putusan hakim yang menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana, mengikuti acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melakui putusan pidana bersyarat.

Dalam Raker Teknis Gabungan Mahkamah Agung dengan pengadilan –pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama pada tahun 1985 di Yogyakarta disepakati tentang Patokan Pemidanaan (Sentencing Standard) yang mewajibkan Hakim dalam putusannya mencantumkan alasan yang lengkap di dalam pertimbangannya (motieverings plicht), antara lain :

  1. Adanya pelanggaran atas norma hukum (normovertreding);

  2. Bobot tindak pidana yang dilakukan terdakwa;

  3. Segala hal ihwal mengenai diri terdakwa;

  4. Akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara. 1

Berkaitan dengan permohonan saksi korban untuk memperoleh ganti kerugian, yang diajukan sebelum jaksa PU membacakan rekuisitur atau setidak-tidaknya sebelum Hakim menetapkan putusannya, kiranya Hakim dapat memenuhi permohonan tersebut setelah mempertimbangkan dari seluruh aspek yang disarankan menurut pedoman di atas, khususnya apabila menyangkut kerugian dan penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara.

Mahkamah Agung RI juga pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5, Tanggal 3 September 1972, yang pada pokoknya mengarahkan para hakim agar pidana yang dijatuhkan atas diri tersangka harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya.

Dengan demikian, dapat saja kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban ditetapkan sebagai masyarakat khusus dalam Pidana Bersyarat, apabila Hakim berpendapat ganti kerugian yang diminta dapat dipersamakan sebagai nestapa yang setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Walaupun mungkin saja Hakim sampai pada kesimpulan untuk tidak memenuhi permintaan ganti kerugian yang diajukan saksi korban, dan menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dan atau denda atas diri terdakwa yang harus segera dijalankan. 2

Demikianlah peluang untuk memperoleh ganti kerugian akan diperoleh korban pencemaran industri, apabila Hakim mau mempertimbangkan penyelesaian permohonan saksi korban dikaitkan sekaligus dalam satu putusan Hakim terhadap pelaku tindak pidana, menurut acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melalui putusan pidana bersyarat.

Perlu dikemukakan, bahwa titik terang dalam pembaharuan hukum pidana telah diisyaratkan dalam konsep Rancangan KUHP Baru tahun 1991/1992, yaitu disamping pidana pokok, dirumuskan pula beberapa pidana tambahan (sebagai sistem pidana baru) berupa pengenaan kewajiban ganti rugi, pengenaan kewajiban adat dan pengenaan kewajiban agama. 3

Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan penegak hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Ganti kerugian yang diwajibkan oleh penegak hukum pada pelanggar untuk diberikan kepada korban,kiranya dapat dipahami sebagai tindakan memulihkan kembali (evenwicht harmonis) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman semasyarakat. 4

B. Permasalahan

Bagaimanakah perlindungan hukum korban industri ?

C. Pembahasan

Dalam Daftar Pabrik-Pabrik Kertas PMDN di Jawa Timur (daftar urutan berdasarkan nilai investasi, industri kertas tersebut berada pada urutan nomor 2, yaitu dengan investasi Rp. 161.295.600.000,- dan total kapasitas produksi maksimum 250.000 ton. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen kertas kraft dan kertas medium untuk ekspor yang terbesar di Indonesia.

Pada waktu “Operasi Kemukus” dilancarkan oleh POLDA Jatim pada tahun 1990, perusahaan tersebut masuk kategori salah satu dari beberapa industri yang tidak mempunyai alat pengolah limbah (“waste water treatment”) yang memenuhi syarat. 5

Sungai Porong, yang airnya biasa dipakai untuk bahan baku air minum, untuk mandi dan untuk cuci pakaian oleh penduduk Desa Bangun (sungai golongan B), selama beberapa bulan pada waktu itu (sekitar 1990) telah mengalami perubahan warna menjadi agak coklat tua dan permukaannya berbuih.

Sementara itu beberapa sumur penduduk di sekitar lokasi pabrik dilaporkan mengalami keadaan serupa, airnya menjadi tak dapat diminum, karena warnya telah berubah menjadi keruh berbuih, kecoklatan dan berbau busuk. Kesehatan penduduk di desa tersebut dikhawatirkan memburuk. 6

Dari hasil observasi di lapangan, ternyata dapat ditemukan keadaan-keadaan yang terasa kontroversial, sebagai berikut :

  1. Pertama-tama sejak beroperasinya pabrik kertas tersebut, tanah sawah penduduk sekitar yang sebelumnya hanya dapat ditanami padi satu kali satu tahun (tanah sawah tadah hujan), karena memperoleh air eks buangan limbah, kemudian dapat ditanami tiga kali setahun ; pernah kejadian penduduk justru menuntut Bupati KDH Kabupaten Mojokerto untuk membuka saluran-saluran limbah yang menuju tanah-tanah sawah mereka yang sempat ditutup dalam rangka penyidikan kasus pencemaran PT. PA ini oleh Pihak Kepolisian;

  2. Kerak limbah yang mengapung di lahan lagoon diambil secara bebas oleh penduduk sekitar untuk dijual ke luar sebagai briket-briket yang mempunyai nilai ekonomis (Rp., 15.000,- per truk Colt) untuk bahan bakar batu bata, genteng dan lain-lain;

  3. Untuk mengatasi keruhnya sumur-sumur penduduk akibat air limbah yang merembes di tanah, perusahaan telah membangunkan sistem pengadaan air bersih, dengan cara menggali beberapa sumur bor (“deep well”), yang airnya kemudian disalurkan dengan pipa ke rumah-rumah penduduk sekitar yang letak dekat implasemen dan membuat beberapa sumur pompa tangan-tangan bagi kelompok-kelompok perumahan penduduk yang tidak dipungut pembayaran baik untuk pemasangan kran maupun untuk pemakaian air tiap bulannya.

Dari data-data tersebut di atas nampak adanya kecenderungan, para korban pencemaran industri telah didudukkan dalam keadaan ketergantungan terhadap fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pihak PT. PA. 7

Dalam rangka membahas “corporate victimization” dalam bukunya “Victimology”. Sandra Walklate melukiskan bahwa kebanyakan warga masyarakat sekitar, yang menjadi korban pencemaran industri (disebut victims dari “corporate crime”), tidak mungkin dapat memilih atau menarik diri untuk tidak menjadi korban pencemaran industri (“ecological vulnerable”).

Marjono Reksodiputro melukiskan, para korban bukanlah tandingan yang imbang untuk menghadapi pengusaha industri pencemar, yang mempunyai kekuasaan ekonomi (kadang-kadang kekuasaan politik), yang pada kesempatan lain kekuasaan ini disinggungnya menjadi salah satu handikap pengungkapan kasus pencemaran lingkungan pada umumnya. 8

Karakteristik yang spesifik dari kegiatan industri PT. PA Mojokerto tersebut, dapat diidentifikasi sebagai berikut :

  1. Pelaku pencemar berbentuk badan hukum (korporasi);

  2. Pengusaha yang perusahaannya melakukan kegiatan pencemaran, kebanyakan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, karena kekuasaan ekonomi (terkadang kekuasaan politik) yang dimiliki ;

  3. Pencemaran yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai “Kejahatan Ekonomi” (“economic crimes”), selalu dilakukan dengan kedok “legitimate economic activities”, bukan dengan kekerasan fisik sepertikejahatan (penodongan atau perampokan);

  4. Korban meliputi warga masyarakat luas, penduduk yang bermukim di sekitar emplasmen industri, dalam suatu areal yang relatif luas, sehingga para korban dapat dikategorikan sebagai “abstract victims” atau “collective victims”. 9

Dari pembahasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa viktimisasi tidak boleh dipandang sebagai akibat dari tingkah laku pengusaha industri pencemar semata-mata. Viktimisasi yang menimpa para warga masyarakat yang menjadi korban pencemaran industri bersifat struktural, bukan bersifat individual, nampak dari sifat kapitalistiknya masyarakat industri, yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan atau tuntutan perhitungan ekonomi, dari pada mengutamakan kesehatan atau peraturan-peraturan keselamatan.

Warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan berada dalam keadaan menerima lingkungan hidupnya yang rusak atau tercemar tersebut sebagai musibah dan tidak merasa perlu menyalahkan siapa-siapa. 10

Bagi pihak pengusaha industri kebutuhan untuk memperoleh keuntungan nampak memainkan bagian penting pada perusakan atau pencemaran lingkungan, sementara bagi pihak warga masyarakat yang menjadi korban alih-alih ingin memperoleh keinginan penghasilan dan keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka mau berbuat apa saja (seperti yang terjadi dalam kasus PT. PA Mojokerto, warga masyarakat sekitar sendiri bahkan menuntut agar air limbah dialirkan ke lahan-lahan pertaniannya. Mungkin karena keadaan warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan miskin, nampak akan ada kecenderungan selalu terjadi kolusi dengan pihak pengusaha industri untuk tidak menghiraukan kesehatan dan peraturan keselamatan.

Semua perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan dampak yang negatif terhadap keselamatan jiwa dan kesejahteraan hidup manusia merupakan malapetaka, sementara pihak pengusaha industri pencemar kebanyakan tidak pernah merasa dirinya sebagai “pelaku kejahatan”. 11

Tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 51 (baru) Rancangan KUHP baru pada pokoknya menekankan pengayoman masyarakat, pembinaan, menyelesaikan konflik dan membebaskan terpidana dari rasa bersalah, kiranya konform dengan kecenderungan universal Marc Ancel dengan “aliran defense sociale nouvelle” (perlindungan masyarakat yang baru), yang memandang tercelanya perbuatan diukur dari berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan melihat perbuatannya (anti socialitat), dan perlunya terhadap pembuat diperlakukan individualisasi pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan kembali.

Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No. 4.1982), pada bagian penjelasan A. Umum, dirumuskan hekakat Lingkungan Hidup Indonesia, sebagai berikut :

Lingkungan Hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari padaNya dan wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menajdi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. 12

Apabila kita kembalikan keseluruhan kebijaksanaan penyelesaian masalah lingkungan ini pada Pembukaan UUD 1945, pada alinea IV, yaitu pada wawasan lingkungan yang merumuskan tugas kewajiban Negara dan Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia demi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh umat manusia di dunia, maka perlindungan hukum bagi warga masyarakat kecil yang menjadi kroban pencemaran industri, kiranya akan selalu berlandaskan pada pandangan hidup untuk mendahulukan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Sikap pengusaha industri pencemar yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan tanpa menghiraukan kesehatan dan peraturan lingkungan, merupakan pelanggaran terhadap hak atau kepentingan hukum orang per orang, atau dengan perkataan lain sudah merupakan serangan terhadap masyarakat, oleh karena itu seyogyanya negara bertindak, reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh negara melalui badan penegak hukum.

J.E. Sahetapy, dengan tajam bahkan menggambarkan para pengusaha industri pencemar sebagai “penjahat siluman” atau “invisible criminal,” sedangkan para korban pencemaran industri sebagai “korban yang tidak kelihatan” atau invisible victim”. 13

D. Penutup

Setelah dilakukan peninjauan terhadap peranan hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Rancangan KUHP baru, secara utuh menyeluruh dari berbagai aspek sosial, budaya dan struktural masyarakat, maka dapat disimpulkan perspektif hukum pidana baru tersebut, sebagai berikut :

  1. Aspek korban diperhatikan dalam rangka penjatuhan pidana, yakni pencantuman ganti kerugian sebagai pidana tambahan;

  2. Pidana penjara atau pidana denda disertai dengan pengenaan kewajiban membayar ganti kerugian, akan memulihkan keseimbangan hidup bermasyarakat ke keadaan semula, lahir maupun batin dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;

  3. Reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh Negara melalui Badan Penegak Hukum.

Dengan demikian, sementara dapat direkomendasikan, agar pada kasus-kasus pencemaran industri yang cukup “serious” (yang menimbulkan malapetaka, “disaster”, dan motif kegiatan pengusaha industri semata-mata demi mengejar keuntungan, tanpa memperhitungkan kesehatan dan keselamatan jiwa warga masyarakat penduduk sekitar), kiranya pertama-tama langkah yang harus diambil oleh penegak hukum adalah, secara tegas segera mengambil alih reaksi terhadap pengusaha industri pencemar, si pelaku delik, dengan melakukan penuntutan pidana agar kegiatan-kegiatan yang merusak atau mencemarkan lingkungan dihentikan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi. Langkah berikutnya, dengan menatap masa depan, adalah menerapkan pidana tambahan dalam rangka mengemplimentasikan perlindungan hukum bagi korban pencemaran industri yang kebanyakan merupakan masalah yang tentunya mengharapkan dapat memperoleh ganti kerugian dari pengusaha industri pencemar.

Kebijaksanaan penuntutan dimaksud merupakan suatu kebijaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang inovatif, yang dapat memberikan perlindungan hukum kepada korban pencemaran industri, konform dengan pencantuman sebagai pidana tambahan dalam rancangan KUHP Baru.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Andojo Soetjipto, 1991. Hukum Pidna dan Hukum Acara Pidana. Pelatihan Tehnis Yustisial hakim Militer. Batu Malang

Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993.

1 Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993. hal. 14

2 Ibid., hal. 15.

3 Ibid., hal. 16.

4 Ibid., hal. 17.

5 Ibid., hal. 18.

6 Ibid., hal. 19.

7 Ibid., hal. 19-20

8 Ibid., hal. 21.

9 Loc. cit.

10 Ibid., hal. 22.

11 Ibid., hal. 22-23.

12 Ibid., hal. 23-24.

13 Ibid., hal. 25.

Read Full Post »

PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

  1. Pendahuluan

Tindak kekerasan oleh massa dalam bentuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, pada saat ini telah menjadi fenomena baru dalam masyarakat. Fenomena ini terus bermunculan, seiring dengan bergulirnya gerakan reformasi. Harian Kompas (16 Juni 2000) mencatat selama tahun 1999 s/d Mei 2000 hanya di wilayah Jabotabek saja telah terjadi 46 peristiwa kekerasan dengan korban tewas dan dibakar massa sebanyak 67 orang. Korban tersebut semuanya adalah pelaku tindak kriminal, seperti pencurian sepeda motor, perampasan mobil/taksi, pencurian ternak dan sebagainya.

Salah satu contoh yang sangat tragis adalah ketika empat pelaku kejahatan di Pondok Gede yang sudah ada di atas mobil patroli Polisi, kemudian diseret, dianiaya dan dibakar oleh massa. Menyikapi kejadian tersebut, komentar yang muncul dari salah satu anggota masyarakat adalah: “ … kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar dan kembali nodong”. Komentar ini menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum telah hilang dan juga menunjukkan rendahnya kemampuan polisi untuk mencegah tindakan main hakim sendiri tersebut.

Peristiwa main hakim sendiri ini tidak hanya terjadi di Jakarta yang karakteristik penduduknya sangat beragam. Di Cilacap yang masyarakatnya dikategorikan lebih tradisional, selama kurun waktu lima bulan (November 1999 s/d Maret 2000) tercatat 13 pelaku kejahatan tewas dihakimi massa. Sembilan diantaranya tewas dengan cara dibakar dan salah satunya adalah pelaku pencurian satu ekor ayam (Kompas, 16 Juni 2000).

Mencermati perilaku masyarakat dalam menyikapi berbagai tindak pidana kejahatan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat berperilaku demikian ? Tidak mampukah peraturan hukum sebagai sarana kontrol sosial mencegah tindakan main hakim sendiri ? Makalah ini akan menguak fenomena perilaku main hakim sendiri dari aspek sosiologis.

  1. Hukum dan masyarakat

Untuk mengatur ketertiban dan kepatuhan terhadap norma kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu norma hukum. Hoeber (dalam Schur, 1968) menyebutkan empat fungsi dasar hukum sebagai sarana kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :

    1. Untuk menetapkan hubungan-hubungan antar anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis perilaku apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang;

    2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang mewakili kewenangan untuk melakukan pemaksaan, serta siapa saja yang harus mentaatinya. Sekalipun memilihkan sanksi-sanksi yang tepat dan efektif;

    3. Menyelesaikan sikap sengketa; dan

    4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan antar anggota masyarakat. Apabila fungsi-funsgi ini dijalankan dengan benar dan kosekuen, dapat diharapkan perilaku manusia dan tata kehidupam masyarakat akan sesuai dengan kaidah, norma, nilai dan aturan yang berlaku secara universal.

Namun demikianuntuk menjalankan funsgi hukun tersebut menurut Parsons (1971) terdapat beberapa masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :

  1. Masalah legitimasi, yang berkaitan daengan landasan bagi pentaatan kepada peraturan;

  2. Masalah interpretasi, yang menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subjek melalui proses penerapan peraturan;

  3. Masalah sanksi, berkaitan dengan penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul apabila terdapat pentaatan atau pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa yang berhak menerapkan sanksi tersebut;

  4. Masalah yirisdiksi, yaitu berkaitan dengan penetapan garis kewenangan tentang siapa yang akan berhak menegakan norma-norma hukum dan apa saja yang akan diatur oleh norma hukum tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).

Keempat masalah ini menjadi amat penting, karena produk hukum yang berupa peraturan hukum harus memenuhi dan menjamin sara keadilan masyarakat. Oleh karenanya, melihat fungsi hukum yang demikian, antara hukum dan kehidupan sosial masyarakat tidaklah dapat dipisahklan. Peraturan hukum dapat digunakan sebagai sarana kontrol sosial dalam hubungan antara manusia maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hubungan yang erat antara hukum dan masyarakat ini oleh Durkheim (1964) ditunjukan oleh perbedaan bentuk dan cara pelaksanaan hukum dalam suatu struktur sosial masyarakat yang berbeda. Dalam teorinya tentang solidaritas sosial, Durkheim membadakan masyarakat dalam dua jenis yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik ditandai oleh pembagian kerja yang rendah, kesadaran kolektif kuat, idividualisme rendah, hukum yang sifatnya represif sangat dominan, konsendus terhadap pola-pola normatif sangat penting, keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang sangat besar, dan bersifat primitif atau pedesaan. Dengan ciri yang demikian, maka hukum ini mendefinisikan setiap perilaku kejahatan sebagai ancaman terhadap solidaritas. Oleh karenanya pemberian hukum di sini dilakukan tanpa harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang menimpa masyarakat dan juga bukan merupakan pertimbangan yang diberikan utuk menyesuaikan hukuman dengan kejahatannya. Hukuman tersebut cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Sedang solidaritas organik ditandai oleh perbagian kerja yang tinggi, kesadaran kolaktif rendah, hukum yang sifatnya restitutif lebih dominan, individualis tinggi, lebih mementingkan konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum, badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpanh, dan bersifat industrial-perkotaan. Penerapan hukuman dalam solidaritas mekanik lebih bertujuan untuk memulihkan perilaku masyarakat agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Kemajuan pebangunan yang dicapai oleh masyatrakat Indonesia saat ini secara umum dapat dikategorikan pada struktur masyarakat bentuk solidaritas organik. Dengan kemajuan ini tentunya norma hukum yang dianut lebih bersifat restritutif. Namun melihat perilaku nain hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat yang memiliki karakteristik solidaritas mekanik. Ketidakselarasan antara kemajuan zaman dengan praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai penyimpangan. Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964). Yaitu suatu keadaan dimana niali-nilai dan norma-norna semakin tidak jelas lagi dan kehilangan relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyatakat. Pelasanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipadang oleh masyatakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum.

Belum selesai penanganan hukum terhadap kasus 27 Juli, kasus Bank Bali dan kasus mantan presiden Soeharto, sebagai contoh, telah memberikan inspiradi kepada masyarakat untuk tidak lagi mempercayai hukum, di samping menumbuhkan kemarahan dan kekecewaan masyarakat terhadap lembaga hukum sebagai lembaga kontrol sosial. Oleh karenanya Smelser (1963) melihat gejala kekerasan massa ini sebagai perwujudan dari ledakan kemarahan dan akumulasi kekecewaan masyarakat. Sebagai akibatnya, ketika pengendalian atau kontrol sosial oleh pemerintah melalui peraturan atau pranata hukum dianggap tidak berfungsi, maka pengendalian sosial dalam bentuk lain akan muncul (Black, 1976). Tindakan individu atau massa untuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial oleh masyarakat.

Keberanian masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam bentuk main hakim sendiri ini, mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai buah dari gerakan reformasi. Gerakan reformasi telah mewariskan kepada masyarakat, baik yang positif maupun negatif,- kebebasan, keberanian, keterbukaan informasi, demokrasi, dan sebagainya, yang kemudian menumbuhkan “kekuasaan dalam masyarakat. Rasa memiliki kekuasaan inilah yang kemudian menjadi pendorong munculnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Di sini kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk melegitimasikan setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk melakukan tindakan hukum. Di sini berlaku suatu asumsi, bahwa penguasalah pemilik hukum.

  1. Hukum dan kekuasaan

Keterkaitan hukum dan kekuasaan ini dapat dibuktikan melalui sejarah pemerintahan orde baru. Kekuasaan yang sangat besar yang dimiliki oleh pemerintah orde baru, mendorong pelaksanaan sistem hukum sesuai dengan selera dan kebutuhan penguasa. Di sini mengandung arti bahwa para pemilik kekuasan pada umumnya berusaha mempertahankan “status quo” melalui berbagai tindakan yang tersembunyi di balik instrumen dam peraturan hukum. Tindakan ini oleh Galtum (1996) disebut sebagai kekuasan “punisif”, yang memiliki sumber legitimasinya pada kemampuan untuk memberikan sanksi “kejahatan” terhadap mereka yang berada di bawah kekuasaannya, guna menciptakan “rasa takut”. Kekuasaan ”punitif” ini memiliki kecenderungan mewujudkan tujuannya melalui berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikologis melalui penyiksaan, ancaman, tekanan dan sejenisnya.

Pemerintahan orde baru dengan kekuasaanya itu telah memperaktikan apa yang dilansir oleh Galtum tersebut. Pemberian stigma politik kepada para demonstran atau kepada kelompok yang berwawasan kritis, penggusuran tanah atas nama pembangunan, merupakan contoh jelas dari upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui instrumen hukum. Oleh karenanya menjadi benar apabila Max Weber (1922) menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.

Mengapa penguasa (pemerintah) mampu menguasai rakyat yang sebenarnya memiliki kekuasaan fisik yangjauh lebih besar? Menurut Hume (dalam Aubert, 1973) ini disebabkan oleh kemampuan dan keberhasilan penguasa untuk menguasai opini. Yaitu dengan melakukan tekanan-tekanan, kekerasan dan berbagai bentuk penciptaan rasa takut lainnya, secara terus menerus sehingga memunculkan kepatuhan. Kepatuhan ini timbuk secara terus menerus untuk selalu tunduk dan pasrah, yang dilandasi oleh perasaan superioritas sang penguasa ataupun perasaan takut. Oleh karena hanya di atas opini sajalah kekuasaan dapat ditegakkan, maka penggalangan dan pembentukan opini terus menerus di lalukan guna mempertahan kekuasaan.

Seiring dengan jatuhnya kekuasaan orde baru, masyarakat kemudian merasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, masyarakat kemudian mengadopsi dan meniru pola atau model penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Masyarakat telah belajar banyak dari kemampuan pemerintah orde baru dalam menggunakan kekuasaannya, yang selanjutnya dipraktikan dalam bentuk pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaanya, meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar hukum.

  1. Alternatif pencegahan

Perilaku menyimpang dan anomie dalam bentuk main hakim sendiri, sebagai suatu penyakit masyarakat, tentunya harus segera diobati. Untuk menemukan obat yang tepat pertama kali perlu dikenali akar permasalahan munculnya tindak kekerasan atau main hakim sendiri tersebut. Apabila akar masalahnya adalah ketidakpercayaan terhadap pranata hukum, maka fungsi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hoeber di muka perlu dilaksanakan secara konsekuen. Upaya ini pada akhirnya akan menumbuhkan kewibawaan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan apabila tindak kekerasan itu berakar pada ketidakadilan dan ketertidakpastian masyarakat oleh struktur kekuasaan (penguasa), maka obat yang tepat untuk itu adalah “pencairan” struktur kekuasaan yang menjadi sumbernya. Di sinilah kemudian dituntut demokratisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk dapat melaksanakan ini semua, maka berbagai masalah yang dikemukakan oleh Parsons di muka perlu diselesaikan terlebih dahulu.

Berbagai masalah tersebut dapat diatasi dengan berbagai tindakan antara lain adalah :

  1. Hukum danperaturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian, jujur, tidak memihak, serta memiliki kemampuan;

  2. Peraturan perundang-undangan sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat mengahruskan;

  3. Sanksi yang diancamkan di dalam perundang-undangan haruslah sebanding dengan sifat perundang-undangan yang dilanggar;

  4. Lembaga hukum harus dibebaskan dari berbagai kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif, utamanya kekuasaan eksekutif; dan

  5. Para pelaksana hukum harus menafsirkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tafsir yang dilakukan oleh aparat pelaksana hukum. Melalui tindakan-tindakan ini dan menentukan akar permasalahan timbulnya tindakan main hakim sendiri, diharapkan tindak kekerasan oleh massa dapat dihentikan.

Read Full Post »

Makalah Kriminologi

Tinjauan Kriminologis Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri

  1. Pendahuluan

Main hakin sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan suatu tindak pidana dinamakan penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang etiologi kriminal yang menganalisis sebab-sebab berbuat jahat. Main hakin sendiri terjadi karena keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang tidak segera dipecahkan atau apabila telah dipecahkan dengan hasil yang dirasakan tidak adil bagi korban atau keluarga korban sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan baik antara pembuat korban dan korban dan/atau keluarga korban. Karena korban dan/atau korban merasa kepentingannya dan hak-haknya diinjak-injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban maka korban kerkewajiban untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap pebuat korban secara langsung. Korban dan/atau keluarga korban atau masyarakat dalam mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil kembali harta benda miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin lebih kerasa dan lebih kejam daripada cara yang digunakan oleh pembuat korban untuk mengambil hak milik korban. Apabila terjadi demikian maka berarti terdapat pergeseran yang semula merupakan korban berubah menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang semula pembuat korban menjadi korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian terus menerus maka anggota masyarakat selalu durinsung keresahan dan ketakutan. Oleh karena itu perlu segera mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang dirasakan adil oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. 1

B. Permasalahan

Main hakim sendiri merupakan pengejawantahan balas dendam yang turun temurun oleh korban dan/atau keluarga korban kepada pembuat korban. Guna menghentikan balas dendam yang turun temurun tersebut maka kepala kelompok/komune/masyarakat sederhana yang anggota kelompoknya tersebut jahat mengumpulkan harta benda milik anggota masyarakat untuk memperbaiki atau mengganti rugi kerusakan atau penderitaan anggota kelompok masyarakat yang menjadi korban. Harta benda sebagai ganti kerugian oleh masyarakat yang berbuat jahat disebut restitusi digunakan untuk kepentingan korban dan/atau keluarganya serta untuk kepentingan masyarakat atau kepala kelompok.

C. Pembahasan

Dalam perkembangan hukum pidana, selanjutnya restitusi seluruhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat sehingga korban dan/atau keluarga korban tidak mendapat bagian sama sekali, karena terjadi perubahan pengertian kejahatan dari pelanggaran melawan individu menjadi pelanggaran melawan negara. Perbuatan tersebut sebagai awal perbedaan dan pemisahan antara kesalahan perdata (Tort) dan kesalahan pidana. Kesalahan perdata adalah hubungan antar pribadi termasuk hubungan antara kejahatan dan korbannya, sedangkan kesalahan pidana merupakan hubungan antara perbuatan jahat dan perbuatannya hal tersebut dikemukakan oleh Schafer. 2

Selanjutnya Schafer menambahkan pendapatnya bahwa dengan pandangan yang berubah itu maka korban kejahatan dikeluarkan dari pengertian hukum pidana. Karena hak korban untuk balas dendam telah diambil alih oleh negara maka seharusnya negara memegang teguh amanat yang dipercayakan kepada negara untuk membalas denda kepada pembuat kejahatan. Negara dalam melaksanakan amanat masyarakat korban telah diatur secara abstrak dan rinci dalam hukum pidana baik hukum pidana substansi maupun hukum pidana formal dengan asumsi bahwa pembuat kejahatan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya sehingga masyarakat korban merasakan kepuasan atas dipidananya pembuat kejahatan. Misalnya Code Hammurabi yang dianggap peraturan paling kuno telah mengatur restitusi antara lain berisi suatu perintah kepada pembuat kejahatan membayar kembali kepada korban dan/atau keluarga korban sebanyak tiga puluh kali lipat dari jumlah kerugian yang diderita oleh korban. Hukum Musa kira-kira abad ke-13 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang pencurian seerkor sapi jantan, pencurinya harus membayar lima kali dari jumlah kerugian korban pencurian. Hukum Romawi Kuno pada kira-kira abad ke-8 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang perampokan, bahwa perampok harus membayar empat kali dari jumlah barang-barang yang dirampok dari korban. Perkembangan selanjutnya untuk menghindari balas dendam atau main hakim sendiri dengan formula “an eye for an eye and a tooth for a tooth” . 3

Kaitannya dengan masalah restitusi Karmen berpandapat bahwa di dalam masyarakat terdapat perbedaan kelas-kelas dengan tajam, oleh karena itu dapat dikatakan pelaksanaan restitusi hanya menguntungkan kelas lebih atas. Apabila dalam suatu kasus kejahatan pihak yang bersalah memiliki kekuasaan cukup maka untuk restitusi dari pihak kelas sosial lebih rendah sulit berhasil tuntutannya sesuai dengan haknya. Sebaliknya apabila yang bersalah kelas sosial lebih rendah daripada korbannya maka tuntutan restitusinya dapat dilaksanakan sesuai dengan haknya. Hal ini berarti restitsi berfungsi si kaya makin kaya dan si miskin main miskin. 4

Menurut pendapat Karmen bahwa akibat penyalahgunaan pembayaran restitusi tersebut maka pada abad ke-12 terjadi perubahan besar dalam menangani perkara kejahatan yang berakibat merugikan korban secara pribadi dan keluarganya. Perluasan kepentingan negara terhadap perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep “tidak berguna lagi kejahatan dipertimbangkan sebagai kekejaman menyerang pribadi korban yang seharusnya dibalas oleh kekejaman juga”. Kemudian melahirkan konsep “tuntutan pidana denda guna memperbaiki keseimbangan masyarakat yang merupakan hak negara”. Konsep selanjutnya “melakukan kejahatan berarti melawan negara”. Konsekuensinya memberantas kejahatan menjadi kewajiban negara dan restitusi dengan nama pidana denda menjadi hak negara, dan penjahat tidak wajib membayar restitusi kepada korban . 5

Secara teoritik, konsep hukum pidana baru yang ditopang oleh dasar pembedaan antara hukum pidana dan hukum perdata mempunyai titik berat yang berbeda. Pembedaan titik berat dimaksudkan antara lain:

Menurut Voigt,

Mendasarkan pada Law of the Twelve Tables memberdakan objek sanksinya yaitu perbuatan menyerang orang merupakan hukum pidana, sedang perbuatan menyerang harta benda merupakan hukum perdata. 6

Menurut Kohler dan Ziebart,

Menegaskan bahwa hukum pidana berarti pembuat harus memberikan perbaikan kepada korban juga memberikan pembayaran uang kepada negara (Schafer). 7

Menurut Mommsen,

Segala sesuatu yang ditentukan oleh negara merupakan hukum pidana dan secara moral wajib ditaati. Sanksi bersifat pembalasan merupakan hukum pidna dan sanksi bersifat perbaikan merupakan hukum perdata. 8

Pakar hukum pidana menganut teori klasik yaitu perbuatan jahat melawan negara merupakan hukum pidana, sedangkan tort adalah perlawanan terhadap hak-hak perseorangan merupakan hukum perdata. Sejalan dengan itu Schafer mengemukakan bahwa yang dimaksud kejahatan hanyalah perbuatan dan penjahatnya, tidak termasuk korbannya, karena hubungan antara korban dan kejahatan termasuk penjahatnya lebih bersifat perdata daripada pidana. 9

Masing-masing bidang hukum tumbuh berkembang sendiri mengenai peraturannya, adminitrasi peradilannya. Misalnya dalam hukum pidana ukuran pembuktian dibutuhkan lebih tinggi, karena itu berlaku adigum “suatu kesalahan pembuat kejahatan yang diragukan harus ditolak”. Kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan finansial perseorangan. Oleh karena itu apabila ternyata korban menderita suatu kerugian finansial perbuatan pidananya selesai. Dalam praktiknya tuntutan ganti rugi korban dalam proses hukum perdata selalu ditolak sehingga korban dan/atau keluarganya tidak pernah mendapat restitusi. Oleh karena itu korban dan keluarganya harus puas atas perbuatan kejahatan telah dijatuhi pidana oleh negara. 10

Perkembangan dan kemajuan kriminologi pada pertengahan abad keduapuluh dalam kepustakaan viktimologi ketidakseimbangan perlakuan terhadap pembuat kejahatan dan korbannya tidak sejalan dengan pandangan baru bahwa keadilan menghendaki keseimbangan perhatian dan perlakuan terhadap masnusia apapun status mereka dalam masyarakat yang beradab. Status manusia dalam hukum pidana baik sebagai pembuat kejahatan maupun sebagai korbannya tertutama mengenai hak dan kewajiban mereka masing-masing harus seimbang. Dalam hal ini Reiff menyarankan agar restitusi yang telah diambil alih oleh negara, wajar dikembalikan demi memuaskan rasa balas dendam korban. 11

Perubahan dan perkembangan pandangan masyarakat terhadap perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan kepada para korbannya pada awalnya muncul atas pengaruh kriminologi hubungan yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi antara pembuat dan korban, hal tersebut dikemukakan oleh Separovic. Para pakar kriminologi, penologi dan viktimologi seharusnya memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya dengan seimbang baik mengenai hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya dalam terjadinya kejahatan. 12

Menurut Iswanto hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korban memang berbeda, bahkan bertentangan. Salah satu pemecahan teoritik yaitu mengintegrasikan aspek kriminologi, aspek penologi dan aspek viktimologi. Pendapat Reiff menyatakan bahwa hukum pidana modern pada pertengahan kedua abad keduapuluh yang baru lalu bahwa asas pemidanaan harus menghilangkan sifat pembalasan, dan sebaliknya justru berkewajiban mempersiapkan pembuat kejahatan agar dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Berbeda bagi korban kejahatan mengharapkan agar pidana bermanfaat langsung, mengembalikan dirinya seperti dalam kondisi sebelum menjadi korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para kriminolog dan viktimolog menghendaki agar suatu kejahatan dipertimbangkan dari aspek pembuat kejahatan dan aspek korban dengan seimbang. Apabila hukum pidana mengintroduksi pendapat tersebut maka masalah pokok hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pertanggungjawaban dalam hukum pidana, dan korban. Jadi hukum pidana bukan criminal-oriented, tetapi seharusnya criminal- victim oriented, sehingga hukum pidana mengkaji obyeknya dengan tepat, lengkap, dan kejahatan dapat dijelaskan lebih baik serta sesuai dengan realitas. Bilamana maksud ini memperoleh tanggapan baik dari pakar hukum pidana, maka hukum pidana akan lebih hidup dan segar atas jasa sumbangan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di luar disiplin hukum khususnya kriminologi dan viktimologi sehingga hukum pidana dirasakan adil oleh anggota masyarakat beradab. 13

Dikemukakan oleh Soebagjo dan Supriatna, hukum pidana yang sekarang berlaku belum mengatur secara seimbang antara pembuat kejahatan dan korban, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan keadilan bagi anggota masyarakat terutama yang menjadi korban dan keluarganya, apabila dibiarkan dapat menggoncangkan masyarakat seperti yang sedang kita alami bersama. Hukum pidana yang demikian itu tidak akan mencapai perdamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan. 14

D. Penutup.

Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan makalah ini bahwa “main hakim sendiri” merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korban kepada pembuat kejahatan. Strategi dasar penanggulangan tindak pidana main hakim sendiri adalah tidak berbeda dengan penanggulangan tindak pidana pada umumnya yaitu meniadakan faktor-faktor penyebab atau kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.

Dalam mengadapi tindakan main hakim sendiri maka dapat disarankan pemecahan sebagai berikut :

  1. Konsiliasi antara elite-politik

  2. Peningkatan kesadaran hukum bagi aparat birokrasi pada semua lapisan birokrat baik pada Lembaga Tertinggi maupun pada Lembaga Tinggi Negara-Lembaga Tinggi Negara termasuk para penegak hukum.

  3. Supremasi hukum perlu segera dilaksanakan.

  4. Hujatan dan penyudutan TNI perlu dihentikan karena TNI sangat dibutuhkan untuk mempertahankan keamanan, kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  5. Para Koruptor baik pada Era Order Baru maupun pada era Reformasi diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.

  6. Usaha keluar dari krisis ekonomi yang telah berjalan 3 tahun sehingga dapat menciptakan lapangan kerja, mengurani pengangguran dan peningkatan standar hidup masyarakat.

  7. Peningkatan kualitas sumber daya manusia oleh karena itu pendidikan perlu mendpat prioritas.

  8. Perlakuan yang sama kepada semua warga negara Indonesia pada semua sektor kehidupan.

  9. Demokratisasi, keterbukaan, keadilan benar-benar dilaksanakan dengan konsekuen.

  10. Hukum pidana hendaknya berorientasi pada pembuat kejahatan-korban (Victim-criminal oriented)

DAFTAR PUSTAKA

Iswanto, 1995, Restitusi Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, sebuah disertasi di UGM.

Karmen, Andrew, 1984, Crime, Victims An Introduction to Victimologi, Books/Cole Publishing Company Monterey, California.

Reiff, Robert, 1979, The Invisible Victim. The Criminal Justice Systems Forgotten Responsibility, Basic Books Inc. Publishers, New York.

Schafer, Stephen, 1968, The Victim and his Criminal a study in Functional Responsibility, in New York and simultaneously in Toronto, Canada, by Random House of Canada Limited.

Separovic, Paul Zvonimer, 1985, Victimology studies of Victims, Publishers “Zagreb”, Samabor Novaki bb Prauni Fakultet, Zagreb.

Soebagjo M, dan Slamet Supriatna, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Penerbit Akademika Pressindo CV., Jakarta.

United Nations, 1988, United Nations Action in The Field of Human Rights, New York, ISBN 92-1-154067-7

Walklate, Sandra, 1989, Victimology the Victim and Criminal Justice Process, First Published by the Academic Division of Unwin Heyman Ltd., 15/17 Braad Wick Street, London W. IV.IFPP. UK.

1 Iswanto, 2000. Kecenderungan Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari Aspek Kriminologi-Viktimologi). Makalah disampaikan dalam Seminar Main Hakim Sendiri oleh Masyarakat. Diselenggarakan atas Kerjasama UBSOED-POLWIL-PWI Perwakilan Banyumas. Purwokerto, 05 Agustus 2000. hal. 1

2 Ibid., hal. 2

3 Ibid., hal. 2-3.

4 Loc. cit.

5 Ibid., hal. 4-5.

6 Loc. cit.

7 Loc. cit.

8 Loc. cit.

9 Ibid., hal. 5.

10 Loc. cit.

11 Loc. cit.

12 Ibid., hal. 6.

13 Loc. cit.

14 Ibid., hal. 6-7.

Read Full Post »

EFEKTIFITAS HUKUM DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA MONEY LAUNDERING SEBAGAI
TINDAK PIDANA KRIMINALITAS

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketetapan  MPR  No.  IV/MPR/1999  tentang  GBHN  tahun
1999 – 2004 telah menempatkan pembangunan di bidang hukum
dalam  prioritas  yang  sama  dengan  prioritas  pembangunan  di
bidang lainnya seperti ekonomi, politik, agama pendidikan, sosial
budaya,  pembangunan  daerah,  sumber  daya  alam  dan
lingkungan hidup serta pertahanan keamanan.
Pembangunan  hukum  diarahkan  pada makin  terwujudnya
sistem  hukum  nasional  yang  bersumber  pada  Pancasila  dan
UUD  1945  yang  mencakup  pembangunan  materi  hukum,
aparatur  hukum  serta  sarana  dan  prasarana  hukum  dalam
rangka  pembangunan  negara  hukum,  untuk  menciptakan
kehidupan masyarakat yang aman dan tentram.
Pembangunan  hukum  dilaksanakan melalui  pembaharuan
hukum  dengan  tetap  memperhatikan  kemajemukan  tatanan
hukum  yang  berlaku, mencakup  upaya  peningkatan  kesadaran
hukum,  kepastian  hukum,  perlindungan  hukum,  penegakan
hukum  dan  pelayanan  hukum  yang  berintikan  keadilan  dan
kebenaran  dalam  rangka  penyelenggaraan  negara  yang makin   2
tertib  dan  tentram,  serta  penyelenggaraan  pembangunan  yang
makin lancar.
Sehubungan  dengan  perkembangan  masyarakat,  hukum
juga  berkembang  mengikuti  tahap  –  tahap  perkembangan
masyarakat.  Hukum  dalam  hal  ini  berfungsi  untuk  melayani
masyarakat.
1

Kemajuan  teknologi,  khususnya  telekomunikasi  dan
transportasi  telah  memungkinkan  mobilitas  dan  persebaran
informasi dalam jangkauan yang sangat luas dan cepat seolah –
olah  tidak  dipengaruhi  oleh  batasan  –  batasan  geografis,
telekomunikasi dan penyiaran, maka bagi penyebaran  informasi
batas-batas geografis nasional seakan – akan  tidak ada.

Dunia
seakan  menyatu  dalam  sebuah  desa  besar  (the  big  village),
dimana hubungan antara manusia tidak lagi terbatas pada ruang
dan tempat, sehingga timbul apa yang disebut dunia tanpa batas
(the borderless world).

Seiring  dengan  kondisi  tersebut,  kejahatan  internasional
yang  menembus  batas  –  batas  yurisdikasi  juga  semakin
meningkat intensitasnya, oleh sebab itu perlu diwaspadai.
Kejahatan  yang  mempunyai  relevensi  kuat  dengan
pemanfaatan  teknologi komunikasi dan berdimensi  internasional
salah  satunya  adalah  apa  yang  disebut  dengan  Money
Laundering atau Pencucian Uang.

1
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal. 103.
2
Bahkan  disebutkan  oleh  sementara  ahli  dewasa  ini  di  dunia  sedang  terjadi  revolusi  sosial  dalam  arti
bahwa seseorang/sekelompok orang dari satu belahan bumi dapat berhubungan, mengadakan konferensi
jarak  jauh  (teleconference) dengan kelompok manusia di belahan bumi yang  lain  tanpa dihambat oleh
masalah waktu,  transportasi,  akomodasi,  biaya  –  biaya  besar. Semua  hambatan  tersebut  dapat  diatasi
karena  kecanggihan  teknologi  komunikasi  melalui  jaringan  internet.  M.  Dimyati  Hartono,  Lima
Langkah Membangun Pemerintahan Yang Baik, Ind Hill Co, Jakarta, 1997, hal. 53 – 54.
3
Kenichi Ohmae, The Borderless World, Alih Bahasa Drs.  FX. Budiyanto, Binarupa Aksara,  Jakarta,
1991, hal. 194.   3
Laporan  tahunan  International  Narcotics  Control  Board
(INCB) baru –   baru  ini menempatkan money  laundering menjadi
pokok perhatian dalam upaya menanggulangi perdagangan obat
dan  kejahatan  terorganisasi.  Hal  ini  dengan  mudah  dipahami
karena kejahatan  terorganisasi. Hal  ini dengan mudah dipahami
karena  kejahatan  internasional  yang  berhubungan  dengan
money  laundering  adalah  perdagangan  narkotik.  Menurut
perkiraan, volume perdagangan narkotik di seluruh dunia berkisar
US  $  500 milyar  setahun. Yang  berarti merupakan  sekitar  2 %
dari pendapatan domestik bruto dari seluruh dunia.
Sampai  beberapa  tahun  lalu, Swiss  dan  negara  –  negara
kepulauan  tertentu,  seperti  Cayman  Island,  sangat  terkenal
sebagai  tempat  berlabuh  uang  tidak  halal.  Ini  disebabkan  oleh
kerahasiaan  bank  di  tempat  tersebut  sangat  ketat,  sehingga
pemilik uang haram atau uang panas merasa aman menyimpan
uangnya. Namun  laporan  terakhir  INCB  (Internasional Narcotics
Control  Board),  menyoroti  secara  tajam  kegiatan  money
laundering di Indonesia. Hal itu tentu cukup memprihatinkan, dan
oleh karenanya upaya penanggulangan gejala  tersebut di negeri
ni menjadi sangat urgent.
Adanya  sorotan  terhadap  money  laundering  di  Indonesia
didasarkan beberapa alasan sebagai berikut :
1.  Sampai sekarang di Indonesia berlaku ketentuan bahwa uang
yang  disimpan  dalam  bentuk  deposito  berjangka  tidak diusut
asal – usulnya ;
2. Undang  –  Undang  perbankan  yang  berlaku  di  Indonesia
memberikan peluang besar kepada bank untuk merahasiakan
kekayaan seseorang ;   4
3.  Indonesia  menganut  sistem  devisa  besar.  Dalam  sistem  ini
sangat dimungkinkan transfer uang secara bebas.
Pada mulanya money  laundering  selalu  dikaitkan  dengan
perdagangan  narkotika,  namun  dalam  perkembangannya
diperluas  sehingga  meliputi  uang  haram  dari  kejahatan  –
kejahatan  terorganisasi  (organized  crimes)  yang  lain.  Hal  ini
nampak  pula  dari  laporan  Financial  Action  Task  Force  (FATC)
dan EEC  tahun 1990 yang menegaskan bahwa  :  “the offence of
money  laundering  should  and  offences  that  generate  larga
amounts of money”.

Dalam struktur kejahatan trans nasional yang terorganisasi,
money  laundering  termasuk  salah  satu  follow  up  crimes,
sedangkan core crime-nya adalah perdagangan gelap obat bius
(illegal drug  traffickling). Money  landering hanyalah dampak dari
kejahatan,  supaya  uang  tidak  halal  tidak  menjadi  pemicu
penyidikan pada  kejahatannya  sendiri,  sedangkan kejahatannya
sendiri adalah primer.
Kejahatan  yang  biasanya  termasuk  dalam  agenda  kerja
organized  crime  antara  lain  adalah,  prostitusi,  perjudian,
perdagangan gelap, pemberian jasa gelap, bank gelap dll.

Hasil  kejahatan  berupa  kekayaan  yang  merupakan  uang
haram  tersebut  jumlahnya  menurut  perkiraan  sangat  fantastik.
Untuk  mendapatkan  gambaran  tentang  hal  ini  bisa  dikaji

Muladi,  Hak  Asasi  Manusia,  Politik  dan  Sistem  Peradilan  Pidana,  Badan  Penerbit  Universitas
Diponegoro, Semarang, 1997, hal. 104

Bahwa jenis kejahatan-kejahatan tersebut merupakan secondary crime dari kejahatan narkotika sebagai
core  crime-nya  (termasuk  di  dalamnya  kejahatan  money  laundering).  Pada  kejahatan  yang  berupa
perdagangan  gelap  barang-barang  yang  diperdagangkan  pada  umumnya  adalah  barang-barang  yang
langka  diperoleh,  ataupun  jika  ada  harus  dibeli melalui  prosedur  dan  persyaratan  tertentu, misalnya
persenjataan,  alkohol,  narkotika.Imbalan  untuk melakukan  pekerjaan  yang  umumnya  tidak mungkin
dilakukan orang awam, misalnya menjadi mercenary, melakukan intimidasi dll.   5
informasi  yang  diberikan  oleh  Crime  Prevention  and  Criminal
Justice Branch, Centre for Social Development and Humanitarian
Affairs, UN Office di Wina yang berjudul World Crime Trends and
Justice: facts figures and estimates yang antara lain menyatakan
sbb:
6

Money  laundering  generates  worldwide  US  $  300  bilion
annually,  mostly  from  ilegal  drug  business.  This  was  twice  as
much as the national budget of Germany (West), about 150 times
mor  than entire United Nations budget  for bienium 1990 – 1991
and,  finally, about one  third of  the global military expenditures  in
1989. in the USA alone it is estimated that daily US $ 22 million of
illegal drug  funds  is spirited out of  the country and  that annually
US $ 100 to US $ 110 billion is electronically transferred from one
bank account to another to “clean” “dirty” “money”.

Peluang  Indonesia  untuk menjadi  salah  satu  negara  yang
dijadikan  sasaran  pemutihan  uang  yang  berasal  dari  kejahatan
cukup terbuka, hal ini karena di Indonesia terdapat faktor – faktor
potensial  yang  menarik  bagi  pelaku  money  laundering,  yaitu
adanya  gabungan  antara  kelemahan  sistem  sosial  dan  celah  –
celah  hukum  dalam  sistem  keuangan  antara  lain  sistem  lain
sistem  devisa  bebas,  tidak  diusutnya  asal  –  usul  yang
ditanamkan dan berkembangnya pasar modal, pedagang  valuta
asing dan jaringan perbankan yang telah meluas ke luar negeri.
Mengingat  besarnya  dampak  yang  dapat  ditimbulkan
terhadap stabilitas perekonomian negara, maka sejumlah negara

6
Financial Action Task Force on Money Laundering, Report on Money: Laundering Typologies 1999-
2003, 3 februari 2000, hal. 2.   6
telah  menetapkan  aturan  yang  cukup  ketat  guna  mengungkap
money  laundering. Di Amerika misalnya  sejak  tahun  1970  telah
memerlakukan Undang – Undang Rahasia Bank  (Bank Secrecy
Act)  yang  mengatur  tentang  kewajiban  untuk  melaporkan
transaksi dan simpanan di atas US $ 10.000 kepada pihak yang
berwenang.
Dalam  upaya  penanggulangan  money  laundering  melalui
perdagangan  narkotika  Indonesia  telah  meratifikasi  Konvensi
Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol 1972 dengan UU No. 8
tahun  1996.  demikian  pula  terhadap  Konvensi  PBB  tentang
Pemberantasan  Peredaran  Gelap  Narkotika  dan  Psikotropika,
1988  telah  diratifikasi  dengan UU No.  7  tahun  1977  tanggal  24
Maret 1997.
Pada  tahun  2002  Indonesia  telah  memiliki  UU  Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, namun demikian ternyata masih
terdapat  kelemahan  –  kelemahan  dalam  perumusan  tentang
perbuatan – perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai money
laundering.  Dalam  perkembangannya  UU  No.  15  tahun  2002
disempurnakan. Terlepas dari adanya kepentingan – kepentingan
di  luar  hukum  pidana  yang  jelas  UU  No.  25  tahun  2003  telah
merubah  dan  menambah  UU  No.  15  tentang  Tindak  Pidana
Pencucian Uang.

7
B. Permasalahan
Bertolak  dari  pemikiran  sebagaimana  terurai  dalam  latar
belakang  tersebut  di  atas,  yang  menjadi  permasalahan  dalam
penelitian ini adalah sbb :
1.  Bagaimana  kebijakan  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana
money laundering?
2.  Bagaimana  pola  sanksi  pidana  dalam  tindak  pidana  money
laundering?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk  mengetahui  bagaimana  efektivitas  hukum  terhadap
pencegahan Money Laundering.
2. Untuk mengetahui  faktor-faktor  apa  sajakah  yang  cenderung
mempengaruhi terhadap efektivitas hukum dalam pencegahan
Money Laundering.
3. Untuk mengetahui  bagaimana  kebijakan-kebijakan  dari  pihak
perbankan terhadap Money Laundering.

D. Kontribusi Penelitian
Kontribusi  adalah  kegunaan  atau  keuntungan  yang
didapatkan dari suatu penelitian.
1.  Kegunaan teoritis
Selain  dimaksudkan  untuk  pengembangan  substansi  bidang
ilmu  khususnya  Ilmu  Hukum,  juga  dimanfaatkan  untuk
memberikan  masukan    sekaligus  kritik  terhadap  kebijakan
kriminalisasi tindak pidana money laundering.

8
2.  Kegunaan praktis
Hasil  dari  penelitian  ini  diharapkan  dapat  bermanfaat  dalam
penanggulangan  tindak  pidana money  laundering.  Fungsi  ini
juga  dapat  digunakan  sebagai  sumbangan  penyusunan
kebijakan,  khususnya  pembentuk  Undang-Undang  di  bidang
tindak  pidana  pencucian  uang,  bagi  aparat  Departemen
perundang-undangan dan hak asasi manusia pada umumnya,
serta  para  pejabat atau  lembaga  yang   menangani  langsung
tindak pidana pencucian uang.

E. Metode Penelitian
1.  Pendekatan
Permasalahan  dalam  penelitain  ini  difokuskan  pada
kebijakan  kriminalisasi,  hal  ini  membawa  konsekuensi  pada
pendekatan  yang  digunakan  yaitu  berorientasi  pada
pendekatan  kebijakan  (policy  oriented  approach)  terhadap
tindak pidana money laundering.
Bertolak  dari  masalah  kebijakan  kriminalisasi  tersebut  maka
metode  pendekatan  yang  digunakan  adalah  pendekatan
yuridis normatif
7
dan yuridis sosiologis

2.  Jenis dan Sumber Data
Sehubungan  dengan  penelitian  ini  termasuk  penelitian
hukum normatif, maka jenis data yang digunakan adalah data
sekunder.  Sedangkan  data  sekunder  yang  menjadi  bahan
hukum  primer  adalah  berupa  peraturan  perundangan  –

7
“Penelitian  Hukum  Normatif  adalah  penelitian  hukum  yang  dilakukan  dengan  cara  meneliti  bahan
pustaka  dan  data  sekunder  belaka”Mamudji,  Penelitian  Hukum  Normatif,  Suatu  Tinjauan  Singkat,
Rajawali Pers, Jakarta, 1995, Cetakan keempat, hal 13.   9
undangan yang mengatur tentang money laundering yaitu UU
No. 25  tahun 2003 sebagai perubahan atas UU No. 15  tahun
2002  serta  peraturan  apa  yang  relevan.  Disamping  itu  juga
ditunjang  dengan  konvensi  –  konvensi  PBB  tentan  Money
Laundering.  Pemberantasan  peredaran Gelap  Narkotika  dan
Psikotropika,  hasil  penelitan  serta  pendapat  pakar  dan
kegiatan ilmiah lainnya yang relevan.
Sedangkan  berkaitan  dengan  kajian  sosiologis  dalam
penelitian  ini  juga dipergunakan adanya  sumber data primer,
dalam hal  ini yang berperan adalah   penyedia  jasa keuangan
yaitu Perbankan dan PPATK.

3.  Teknik Pengumpulan Data
Data sekunder yang menjadi bahan hukum primer dalam
penelitian  ini yang pertama diperoleh dari studi pustaka. Data
tersebut kemudian disusun secara sistematis hingga diperoleh
gambaran  yang  relatif  lengkap  dan  diklasifikasikan  secara
kualitatif
8
, dengan membuat kategori – kategori tertentu sesuai
dengan permasalahan yang diajukan.
Kemudian  pengkajian  data  dalam  implementasinya
diperoleh  melalui  metode  interview  pada  Perbankan  dan
PPATK.

4.  Teknik Analisis dan Interpretasi Data
Data  yang  diperoleh  disajikan  secara  kualitatif  untuk
selanjutnya dilakukan analisis deskriptif dan preskriptif dengan
logika yuridis normatif. Karena data yang dikumpulkan adalah

8
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung, 2000, hal 2.   10
data kualitatif, maka analisa data yang dipakai adalah analisa
data kualitatif dengan model  interaktif. Prosesnya melalui  tiga
tahap  yaitu  mereduksi  data,  menyajikan  data  dan  menarik
kesimpulan.  Kegiatan  tersebut  terus  menerus  diulang
sehingga  membentuk  siklus  yang  memungkinkan  hasil
kesimpulan  yang  memadahi.  Proses  siklus  atau  sama  lain
yang saling berhubungan secara sistematis.
Sedangkan  data yang diperoleh melalui interview dapat
dikaji    dengan  metode  analisis  komperatif  analisis,  dengan
membandingkan  antara  data  yang  satu  dengan  data  yang
lainnya

F. SISTEMATIKA PENELITIAN
BAB I  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
B.  Permasalahan
C.  Kontribusi Penelitian
D.  Tujuan Penelitian
E.  Metode Penelitian
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Kebijakan Hukum Pidana dan Kriminalisasi
1.  Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
2.  Kebijakan  Penanggulangan  Kejahatan  Dengan  Hukum
Pidana
3.  Kebijakan Kriminal dan Kriminalisasi
B. Tindak Pidana Money Laundering
1. Pengertian Money Laundering
2. Modus Operasi Money Laundering   11
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

12
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Dasar  pemikiran  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana money
laundering  adalah  untuk  menghindari  penyalahgunaan  dan
pemanfaatan  kemudahan  akses  dan  percepatan  mobilitas
dana  melalui  jasa  keuangan  untuk  kepentingan
menghilangkan  jejak  sumber  dana  yang  diperoleh  dari
kejahatan. Hal ini penting karena :
a.  Tindak pidana money laundering merugikan masyarakat;
b.  Peningkatan trend money laundering;
c.  Terjadi  peningkatan  /  perluasan  aktivitas  kejahatan
transnasional  yang  menjadi  sumber  perolehan  harta
kekayaan yang menjadi obyek money laundering melalui;
1) memanfaatkan  kelemahan  perundang-undangan  suatu
negara;
2) memanfaatkan  kemudahan  investasi  dalam  berbagai
bentuk;
3) memanfaatkan  lemahnya  kontrol  pejabat  publik  yang
berkaitan dengan moneter;
2.  Kebijakan  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana  money
laudering  berdasarkan  UU  No.  15    tahun  2002  yang  telah
diubah dan ditambah dengan UU No.25 tahun 2003 mencakup
hal-hal sebagai berikut :
a.  Kualifikasi Delik
Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai kejahatan  terbagi
menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang (TPU) dan   13
tindak  pidana  lain  yang  berkaitan  dengan  tindak  pidana
pencucian uang (TPLBTPU) sebagai berikut :
1) Tindak  Pidana  Pencucian  Uang  (TPU)  terdapat  dalam
Pasal 3, 6 dan 7.
2) Tindak  Pidana  Lain  yang  berkaitan  dengan  Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU) diatur dalam Pasal
8, 9 dan 10.
b.  Subjek Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertanggungjawaban  pidana  pelaku  tindak  pidana
pencucian  uang  tidak  hanya  terbatas  pada  orang,  tetapi
juga dapat dikenakan terhadap korporasi.
3.  Kebijakan Kriminalisasi Yang Akan Datang.
Kebijakan  kriminalisasi  pada  masa  yang  akan  datang  perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Masalah  Percobaan,  Pembantuan  dan  Permufakatan
Jahat.
Karena  aturan  pemidanaan  mengenai  percobaan,
pembuatan  dan  permufakatan  jahat  tidak  disebutkan
sebagai  ketentuan  umum  sehingga  tidak  jelas  apakah  ini
berlaku  pasal  lain  atau  tidak,  maka  perlu  formulasi  yang
lebih jelas dalam ketentuan umum.
b.  Pidana Mininal Khusus
UU tindak pidana pencucian uang mencantumkan ancaman
pidana  minimal  khusus,  namun  tidak  memuat
aturan/pedoman penerapan pidananya secara khusus. Hal
ini  akan menimbulkan masalah,  karena  dilihat  dari  sistem
pemidanaan,  jumlah  ancaman  pidana  (minimal  maupun
maksimal)  hanya  merupakan  salah  satu  sub-sistem  yang   14
tidak  dapat  begitu  saja  diterapkan  di  dalam  perumusan
delik.  Agar  dapat  diterapkan,  harus  disertai  dengan  sub-
sistem  mengenai  aturan  pemindanaan/pedoman
penerapannya  terlebih  dahulu.  Oleh  karena  itu  formulasi
yang  akan  datang  harus  disertai  dengan  pedoman
penerapan.
c.  Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi
Penetapan subyek hukum korporasi sebagai pelaku  tindak
pidana  pencucian  masing  mengandung  beberapa
kelemahan.  Pasal  4  ayat  1,  seolah-olah  korporasi  baru
dapat  dipidana  apabila  tindak  pidana  dilakukan  oleh
pengurus  dan/atau  kuasa  pengurus.  Jadi  kalau  dilakukan
oleh  karyawan/  pegawai/  buruh/  orang  lain    bukan
pengurus  atau  bukan  kuasa  pengurus,  maka  korporasi
tidak  dapat  di  pertanggungjawabkan.  Disamping  itu
ancaman  pidana  denda  untuk  korporasi  yang
maksimumnya  diperberat  sepertiga  tidak  disertai  dengan
ketentuan  khusus  untuk  pelaksanaan  pidana  denda  yang
tidak dibayar oleh korporasi.

B. Saran
1.  Kriminalisasi  terhadap  money  laundering  seharusnya  diikuti
dengan  kriminalisasi  terhadap  perbuatan-perbuatan  yang
memungkinkan terjadinya money laudering misalnya di bidang
perbankan  dan  pasar  modal.  Hal  ini  penting  karena  money
laundering  tidak  akan  lepas  dari  kegiatan  perbankan  dan
pasar modal.   15
2.  Bertolak dari kebijakan kriminalisasi yang  terdapat dalam UU
No.  15  tahun  2002  tentang  Tindak  Pidana  Pencucian  Uang
yang  telah  diubah  dan  ditambah  dengan  UU  No.  25  tahun
2003  masih  memerlukan  penyempurnaan.  Penyempurnaan
tersebut  menyangkut  sistem  pemidanaan,  yaitu  masalah
percobaan,  pembantuan  dan  permufakatan  jahat;  pidana
minimal  khusus;  pertanggungjawaban  terhadap  korporasi.
Pengaturan  ini  penting  karena  UU  tindak  pidana  pencucian
uang  memiliki  aturan  pemidanaan  yang  menyimpang  dari
KUHP, sehingga perlu pengaturan yang lebih lengkap.

16
DAFTAR PUSTAKA

Admasasmita,  Romli.  Sistem  Peradilan  Pidana  Perspektif
Eksistensialisme  dan  Abolisinisme,  Bina  Cipta,  Bandung,
1996.

Financial  Action  Task  Force  on  Money  Laundering,  Report  on
Money  :  Laundering  Typologies  1999  –  2003,  3  Februari
2000, hal. 2.

Lexy  J.  Moleong.  Metodologi  Kualitatif,  Rosda  Karya,  Bandung,
2000, hal 2.

M. Dimyati Hartono. Lima Langkah Membangun Pemerintahan Yang
Baik. Ind Hill Co. Jakarta. 1997, hal. 53 – 54.

Mamudji,  Penelitian  Hukum  Normatif,  Suatu  Tinjauan  Singkat,
Rajawali Pers, Jakarta, 1995, Cetakan keempat, hal 13.

Ohmae,  Kenichi.  The  Borderless  World,  Alih  Bahasa  Drs.  FX
Budiyanto, Binarupa Aksara. Jakarta, 1991, hal. 194.

Moelyatno,  Perbuatan  Pidana  dan  Pertanggungjawaban  dalam
Hukum Pidana, Pidato pada Dies Natalis Universitas Gajah
Mada tahun 1955.

Muladi,  Hak  Asasi Manusia,  Politik  dan  Sistem  Peradilan  Pidana,
Badan  Penerbit  Universitas  Diponegoro,  Semarang,  1997,
hal. 104 .

Rahardjo,  Satjipto,  Hukum  dan  Masyarakat,  Angkasa.  Bandung.
1980, hal. 103

Read Full Post »

PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI PELUANG
MENCIPTAKAN KEADILAN

PENDAHULUAN
Penegakan  hukum  merupakan  pusat  dari  seluruh  “aktivitas
kehidupan”  hukum  yang  dimulai  dari  perencanaan  hukum,
pembentukan  hukum,  penegakan  hukum  dan  evaluasi  hukum.
Penegakan  hukum  pada  hakikatnya  merupakan  interaksi  antara
berbagai  perilaku  manusia  yang  mewakili  kepentingan  –
kepentingan  yang  berbeda  dalam  bingkai  aturan  yang  telah
disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat
semata-mata  dianggap  sebagai  proses  menerapkan  hukum
sebagaimana pendapat kaum  legalistik. Namun proses penegakan
hukum  mempunyai  dimensi  yang  lebih  luas  daripada  pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi
perilaku  manusia.  Dengan  pemahaman  tersebut  maka  kita  dapat
mengetahui  bahwa  problem-problem  hukum  yang  akan  selalu
menonjol  adalah  problema  “law  in  action”  bukan  pada  “law  in  the
books”.
Pada  saat  ini  dapat  mengamati,  melihat  dan  merasakan
bahwa  penegakan  hukum  berada  dalam  posisi  yang  tidak
menggembirakan.  Masyarakat  mempertanyakan  kinerja  aparat
penegak  hukm  dalam  pemberantasan  korupsi,  merebaknya  mafia
peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di
kalangan  birokrasi.  Dafatar  ketidakpuasan  masyarakat  dalam
penegakan  hukum  semakin  bertambah  panjang  apabila membuka
kembali  lembaran –  lembaran  lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan  Udin,  kasus  Sengkon  dan  Karta,  kasus  Tanah  Keret  di
Papua dan lain-lainnya.
Pengadilan  yang  merupakan  representasi  utama  wajah
penegakan  hukum  dituntut  untuk  mampu  melahirkan  tidak  hanya
kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan
pemberdayaan  sosial  melalui  putusan  –  putusan  hakimnya.
Kegagalan  lembaga  peradilan  dalam  mewujudkan  tujuan  hukum
diatas  telah  mendorong  meningkatnya  ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat
terhadap  lembaga-lembaga  hukum  telah  berada  pada  titik  nadir.
Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan
atau  ulasan  yang  berhubungan  dengan  lembaga-lembaga  hukum
kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita
semua  adalah  merosotnya  rasa  hormat  masyarakat  terhadap
wibawa hukum.
Bagaimana  juga masih banyak warga masyarakat yang  tetap
menghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan.
Meskipun  demikian  sah-sah  juga  kiranya  apabila  masyarakat
mempunyai penilaian  tersendiri  terhadap putusan  tersebut. Adanya
penilaian  dari  masyarakat  ini  menunjukkan  bahwa  hukum  /
pengadilan  tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  struktur  sosial
masyarakatnya. Hukum  tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial
lingkungannya.  Oleh  karena  itu  wajar  kiranya  apabila  masyarakat
mempunyai  opini  tersendiri  setiap  ada  putusan  pengadilan  yang
dipandang  bertentangan  dengan  nilai  –  nilai  keadilan  hidup  dan
tumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya  tidak  akan  berhenti  hanya  sebatas munculnya
opini  publik,  melainkan  berdampak  sangat  luas  yaitu  merosotnya
citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat
akan  luntur  dan mendorong munculnya  situasi  anomi. Masyarakat
kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.

SUMBER WIBAWA HUKUM
Dalam  pikiran  para  yuris,  proses  peradilan  sering  hanya
diterjemahkan  sebagai  suatu  proses  memeriksa  dan  mengadili
secara  penuh  dengan  berdasarkan  hukum  positif  semata-mata.
Pandangan  yang  formal  legistis  ini  mendominasi  pemikiran  para
penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,
itulah yang akan menjadi hukumnya.
Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan
hukum yang kaku,  tidak diskresi dan cenderung mengabaikan  rasa
keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.
Proses  mengadili  –  dalam  kenyataannya  bukanlah  proses  yuridis
semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-
pasal  dan  bunyi  undang  –  undang,  melainkan  proses  yang
melibatkan  perilaku  –perilaku  masyarakat  dan  berlangsung  dalam
struktur  sosial  tertentu.  Penelitian  yang  telah  dilakukan  oleh Marc
Galanter  di  Amerika  Serikat  dapat  menunjukkan  bahwa  suatu
putusan  hakim  ibaratnya  hanyalah  pengesahan  saja  dari
kesepakatan  yang  telah  dicapai  oleh  para  pihak. Dalam  perspektif
sosiologis,  lembaga  pengadilan  merupakan  lembaga  yang  multi
fungsi  dan  merupakan  tempat  untuk  ”record  keeping”,  ”site  of
administrative  processing”,  ”ceremonial  changes  of  status”,
”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk  dari  pengadilan  adalah  putusan  hakim.  Dari  sinilah
awal  dapat  dibangunnya  wibawa  hukum.  Dalam  putusan  hakim,
wibawa  hukum  dipertaruhkan.  Para  petinggi  hukum  tidak  perlu
berteriak-teriak  minta  kepada  masyarakat  agar  menghormati
pengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupun
MA membuat  putusan  yang  bermutu  tinggi, maka  rasa  hormat  itu
akan datang dengan sendirinya.
Kiranya  masyarakat  dapat  memberikan  penilaian  tersendiri
terhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwa
menegakkan  wibawa  pengadilan  tidakkah  semudah  membalik
telapak  tangan.  Sistem  peradilan  di  Indonesia  yang  merupakan
warisan  kolonial  Belanda  sedikit  banyak  menyulitkan  dalam
prakteknya.  Sisa-sisa  perilaku  sebagai  bangsa  terjajah  masih
tampak  di  kalangan  para  hakim.  Sebagai  contoh,  sampai  saat  ini
kita masih  bisa melihat  digunakannya Osterman  Arrest  dari  Hoge
Raad Belanda sebagai contoh  tentang Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Dari  sisi  ini  setidaknya  kita  dapat melihat  adanya  tiga  hal,
yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diri
untuk  mengutip  yuriprudensi  dari  Mahkamah  Agung  Indonesia.
Kedua, kemungkinan memang  tidak ada putusan hakim  (MA) yang
dapat  dianggap  berkualitas  kasus  itu.  Ketiga,  menganggap
yuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya  kritik-kritik  terhadap  keberadaan  lembaga
peradilan  tidak  lain  karena  peradilan  kita  tidak  dapat memberikan
pengayoman  kepada  warg  masyarakat.  Putusan  pengadilan  yang
diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang
terganggu  tidak  dapat  terpenuhi.  Adanya  isu  mafia  peradilan,
keadilan  dapat  dibeli,  munculnya  bahasa-bahasa  yang  sarkastis dengan  plesetan  HAKIM  (Hubungi  Aku  Kalau  Ingin  Menang),
KUHAP  diplesetkan  sebagai  Kurang  Uang  Hukuman  Penjara,
tidaklah  muncul  begitu  saja.  Kesemuanya  ini  merupakan  ”produk
sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.
Ungkap-ungkapan  ini  merupakan  reaksi  dari  rasa  keadilan
masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum
yang  tidak  profesional maupun  putusan  hakim/putusan  pengadilan
yang  semata-mata  hanya  berlandaskan  pada  aspek  yuridis.
Berlakunya  hukum  di  tengah-tengah  masyarakat,  mengemban
tujuan  untuk  mewujudkan  keadilan,  kepastian  hukum  dan
kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk
menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,
maka  pengadilan  harus  senantiasa  mengedapkan  empat  tujuan
hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan
dengan  apa  yang menjadi  dasar  berpijaknya  hukum  yaitu  ”hukum
untuk  kesejahteraan masyarakat”. Dengan  demiian,  pada  akhirnya
tidak  hanya  dikatakan  sebagai  Law  and  Order  (Hukum  dan
Ketertiban)  tetapi  telah  berubah  menjadi  Law,  Order  dan  Justice
(Hukum,  Ketertiban,  dan  Ketentraman).  Adanya  dimensi  keadilan
dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya  lembaga
pengadilan,  akan  semakin  mendekatkan  cita-cita  pengadilan
sebagai pengayom masyarakat.

MEMBUDAYAKAN PERILAKU ANTIKORUPSI
Dalam  10  tahun  terakhir,  gelombang  perubahan  yang
menakjubkan  telah  terjadi  di  Indonesia.  Pemerintah  telah  memilih
jalan  untuk  melaksanakan  program  desentralisasi  secara  besar-
besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung
untuk  memilih  presiden,  gubernur,  bupati,  dan  walikota.  Hal  ini
haruslah  dilihat  sebagai  proses  transisi  secara  damai  dari  rezim
otoriter  kepada  rezim  demokrasi  yang  diikuti  pula  dnegan
perubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.
Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untuk
dikaji.  Korupsi  bukanlah  sesuatu  yang  khas  Indonesia.  Hampir  di
kebanyakan negara korupsi selalu  terjadi. Korupsi merebak hampir
di  semua  negara  di  dunia  baik  negara  industri  maupun  negara
berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korup
di  dunia.  Dalam  bidang  pemberantasan  korupsi,  skor  Indonesia
hanya  sejajar  dengan Nigeria  dan  Bangladesh  dan  tertinggal  jauh
apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.
Hasil  survei  ini mencerminkan  transparansi  yang  lebih  besar
mengenai  korupsi  di  Indonesia  dan  menunjukkan  bahwa
masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.
Masyarakat  mengakui  bahwa  korupsi  secara  objektif  terjadi  di
berbagai  sektor  dan masyarakat  juga  berpendapat  bahwa  korupsi
merupakan  kejahatan  yang  harus  dibasmi.  Korupsi  merupakan
ancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesia
karena  korupsi  melemahkan  kemampuan  negara  untuk
menyediakan  barang  –  barang  publik  dan  mengurani  kredibilitas negara  di mata  rakyat. Dalam  jangka  panjang  korupsi merupakan
ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.
Survei  nasional  yang  dilaksanakan  oleh  Partnerhip  for
Governance  Rerofm  in  Indonesia  menyajikan  sumber  informasi
yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik dan
pengusaha. Hasil  survei mengungkapkan  bahwa  75 %  responden
berpendapat  bahwa  korupsi  sangat  lazim  di  sektor  publik.  Di
samping  itu,  65  %  rumah  tangga  melaporkan  telah  mengalami
secara  langsung  dan  70  %  responden  melihat  korupsi  sebagai
“penyakit  yang  harus  diberantas”.  Survei  juga  mengungkapkan
tingkat  kemarahan  publik  dan  kemuakan  terhadap  korupsi.  80  %
responden  menghendaki  agar  pejabat-pejabat  yang  korup
dipenjarakan  dan  disita  kekayaannya.  Sebagian  kecil  responden
menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaris
tidak  ada  dukungan  untuk  memberikan  amnesti  atau  tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu.
Survei  tersebut  menawarkan  tiga  temuan  yang  signifikan.
Pertama,  orang  tidak  terlalu  percaya  pada  lembaga  –  lembaga
negara.  Lembaga-lembaga  yang  dianggap  paling  paling  korup
termasuk  di  sektor  peradilan  (Kepolisian,  Pengadilan,  Kejaksaan
dan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (Dinas
Pabean  dan  Instansi  perpajakan),  Departemen  Pekerjaan  Umum
dan  Bank  Indonesia.  Kedua,  lembaga  –  lembaga  yang  diranking
paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.
Ketiga,  survei  tersebut  memberi  wawasan  terhadap  penyebab-
penyebab  aktual  di  Indonesia. Walaupun  hasil  survei menunjukka
kepercayaan  yang  kuat  bahwa  korupsi  disebabkan  oleh  gaji
pegawai  yang  rendah,  rendahnya  moral  perorangan,  serta  tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisis
data  yang  cermat  menunjukkan  bahwa  empat  variabel  tersebut
berkorelasi  dengan  manajemen  bermutu  tinggi,  nilai  –  nilai
organisasi  yang  anti  korupsi,  manajemen  kepegawaian  bermutu
tinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.
Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak  jaman VOC,
pemberantasan  korupsi  diyakini  akan  sulit  dilakukan  karena  akan
menentang  kepentingan  –  kepentingan  kelompok  yang  kuat,
terorganisasi  secara  rapi  dalam  kelompok  –  kelompok  yang  saling
menguntungkan.  Terjadinya  distorsi  –  distorsi  secara  sistematis
dalam struktur yang menghalalkan sistem  insentif sehingga mampu
mengubah  cara  pengambilan  keputusan  masyarakat  sehingga
mengubah  pula  perilaku  masyarakat  yang  bebas  korupsi  akan
tergambar suasana sebagai berikut  :  (1) Birokrasi sebagai pelayan
publik merasa bertanggung  jawab atas pelayanan mereka, merasa
takut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkan
takut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkan
insentif  resmi  karena  bertindak  jujur.  (2) Masyarakat menganggap
aturan  –  aturan  akan  ditaati  sehingga  masyarakat  memposisikan
perilakunya  dalam  kerangka  peraturan  tersebut.  (3)  Masyarakat
tidak  perlu  membayar  insentif  tidak  resmi  (komisi,  suap,  uang
pelicin)  karena  mengetahui  bahwa  tanpa  membayar  pun  akan
dilindungi  hak-haknya  untuk  mendapatkan  pelayanan  publik  yang
berkualitas.

Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa upaya untuk
membangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dan
komitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terus
menerus  dari  masyarakat  dan  media  massa.  Oleh  karena  itu
mengharapkan  Indonesia  mampu  memberantas  korupsi  dan
membudayakan  perilaku  antikorupsi  dalam  waktu  singkat,  adalah
harapan  yang  berlebihan.  Dibutuhkan  waktu  yang  lama  melalui
proses  yang  disebut  oleh  Peter  L  Berger  sebagai  proses
internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.
Indonesia  menemukan  momentum  untuk  memulai  perang
melawan  korupsi  dengan  dilakukan  perubahan  mendasar  dalam
bidang  ketatanegaraan  yang  memungkinkan  dilaksanakannya
pemilihan  umum  yang  jujur,  bebas,  adil  dan  pemilihan  langsung
presiden pada  tahun 2004. Hal  ini membuat presiden dan anggota
parlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004
tentang  pemerintahan  daerah  akan  meningkat  akuntabilitas  di
tingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegang
kekuasaan publik  lebih berhati – hati karena masyarakat menuntut
akuntabilitas  yang  lebih  besar  sebagai  imbalan  dari  suara  yang
diberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.
Pergeseran  dalam  pemilihan  kepala  daerah  di  Indonesia
haruslah  dilihat  sebagai  peluang  untuk membangun  perilaku  baru
dalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku baru
dalam  penciptaan  keadilan  dan  pemberantasan  korupsi  melalui
kontrak politik antara  calon kepala daerah dan  konstituennya. Dari
tahun  2005  sampai  dengan  tahun  2009  akan  terjadi  pemilihan  33
Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena  itu perubahan sistem  ketatanegaraan  ini  haruslah  dijadikan  sebagai  momentum
untuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.
Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalam
kelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untuk
memerangi  korupsi  dan membangun  perilaku  antikorupsi.  Pranata
hukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yang
menetapkan  sebagai  tujuan  reformasi  yaitu  suatu  aparat  negara
yang  berfungsi  dalam  penyelenggaraan  jasa  kepada  rakyat  yang
profesional,  efisien,  produktif,  transparan,  dan  bebas  dari  kolusi,
knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum  lainnya adalah UU Nomor.
28  tahun  1999  tentang  pemerintah  yang  bersih  dan  bebas  KKN
yang  mengharuskan  pejabat-pejabat  publik  mengumumkan  harta
kekayaannya  dan menyetujui  audit  secara  berkala,  UU  Nomor  31
tahun  1999  tentang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  yang
mendefinisikan  secara  lebih  luas  tentang  pidana  korupsi  dan
menetapkan  gugatan  dan  prosedur  penuntutan,  dan  amandemen
UU  tersebut  melalui  UU  Nomor  2  tahun  2001  yang  meletakkan
beban  pembuktian  kepada  terdakwa.  Selain  itu  juga  sudah
diundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30
tahun  2002  tentang  Komisi  Anti  Korupsi.  Dari  segi  pengelolaan
keuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003
tentang  Keuangan  Negara,  UU  Nomor  1  tahun  2004  tentang
Perbendaharaan  Negara  dan  UU  Nomor  15  tahun  2004  tentang
Tatacara  Pemeriksaan  dan  Pertanggungjawaban  Keuangan
Negara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum di
Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan
korupsi  di  Indonesia  sudah  cukup  memadai  untuk  melakukan
pemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensional
dalam  penegakan  hukum  seperti  kejaksaan  dan  kepolisian,  telah
pula  dibentuk  komisi  ombudsman  nasional  yang  bertugas
menangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)  yang  bertugas  secara  khusus  untuk  menangkap  dan
memeriksa  pelaku  korupsi  dan  pusat  pelaporan  dan  analisis
transaksi  keuangan  (PPATK)  yang  bertugas  untuk  memantau
transaksi  yang  mencurigakan  dan  melaporkan  transaksi  tersebut
kepada Jaksa Agung.

PENUTUP
Haruslah  disadari  benar  bahwa  upaya  menegakkan  hukum
tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang
sekarang  menimpa  lembaga  hukum  hanyalah  satu  proses  untuk
menuju  terciptanya  wibawa  hukum.  Sikap  mawas  diri  merupakan
langkah  terpuji  yang  seyogyanya  dibarengi  dengan  upaya-upaya
yang  bersifat  sistemik  dari  lembaga-lembaga  hukum  mulai
kejaksaan,  kepolisian,  kehakiman,  dan  organisasi  penasehat
hukum.  Sudah  saatnya  lembaga-lembaga  penegak  hukum
melakukan  :  Pertama,  evaluasi  berkesinambungan  atas  semua
program  dan  kebijaksanaan  yang  sudah  dicanangkan,  agar  dapat
mengurangi kendala yang dihadapi  ; Kedua, klarifikasi kasus-kasus
besar  yang  diputuskan  oleh  pengadilan,  sehingga  masyarakat
mengetahui  secara  jelas  pertimbangan  hukum  dan  dasar-dasar
hukum  yang  digunakan.  Ketiga,  adalah  reorientasi  visi  dan  misi
lembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di
bidang  hukum mutlak  perlu. Di  dalam  era  global  seperti  sekarang ini,  dengan  perubahan  sosial  yang  begitu  cepat,  aparat  penegak
hukum  harus  tanggap  dan  melakukan  penyesuaian  diri  dengan
meningkatkan  kemampuan.  Adanya  perbedaan  penafsiran  bunyi
suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang sama
terhadap  suatu  konstruksi  hukum  akan  sangat  mendukung
keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan
persepsi  antar  aparat  penegak  hukum  (Polisi,  Jaksa,  Hakim,  dan
Pengacara)  harus  dikembangkan  sejak  dini.  Pembenahan  paling
dini  dapat  dimulai  dari  sistem  rekrutmennya.  Seperti  yang  kita
ketahui,  rekrutmen  untuk  jabatan-jabatan  inti  dalam  hukum  seperti
hakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum
yang  sangat  bervariasi mutunya.  Pada  umumnya  dapat  dikatakan
bahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksa
bukanlah  lulusan  yang  terbaik.  Seleksi  pelamar  terutama  yang
menyangkut  tentang  kemahiran,  pengetahuan,  dan  kemampuan
hukum tidaklah ketat.
Di  negara  maju,  untuk  seleksi  jabatan  hakim,  jaksa,  dan
advokat  benar-benar  memperhatikan  mutu  pengetahuan,
kemahiran,  dan  kemampuan  hukum.  Seleksi  untuk  memperoleh
jabatan  inti  ini  sangat  ketat. Di  Jepang, hakim,  jaksa, dan advokat
harus  mengikuti  pendidikan  khusus  setelah  mereka  lulus  dari
fakultas  hukum.  Sementara  itu,  Malaysia,  dan  Singapura  melaku-
kan  seleksi  untuk  jabatan  inti  dengan  cara  kerjasama  yang  erat
antara  pendidikan  tinggi  hukum  dengan  institusi  hukum.  Institusi
hukum  ini  hanya  mau  menerima  lulusan-lulusan  terbaik  saja.
Kiranya  kita  dapat  belajar  dari  negara-negara  tetangga  yang  telah
memelopori  peningkatan  kualitas  sumber  daya manusia  di  bidang
hukum. Selain  melakukan  pembenahan  sumber  daya  manusia
sebagai  bagian  dari  brainware  system,  penting  pula  kiranya  untuk
membenahi perangkat hukum sebagai bagian dari software system.
Oleh karena  itu diperlukan pergeseran paradigma dari hukum yang
teknokratis  struktural  menuju  hukum  humams  partisipatoris  yang
dimulai  dari  proses  hukum  yang  paling  awal  karena  terdapat
hubungan  yang  erat  antara  perencanaan  hukum,  pembentukan
hukum,  penegskan  huknm  dan  pendayagunaan  hukum.  Dalam
konteks  penegakan  hukum  itu  sendiri  perlu  dilakukan  redefinisi
bahwa  penegakan  hukum  tidak  lain  adalah  mewujudkan  isi,  jiwa,
dan  semangat  undang-undang/peraturan  ke  dalam  kehidupan
sehari-hari. Oleh  karena  itu,  siapapun  yang  telah mewujudkan  isi,
jiwa  dan  semangat  undang-undang  dalam  kehidupan  sehari-hari,
dirinya adalah penegak hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1989, Perkembangan Pemikiran  tentang Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.

Adamson, Walter L., 1980 Hegemony and Revolution  : A Study of
Antonio  Gramsci’s  Political  and  Culture  Theory.  Berkeley,
University of California Press.

Darmaputera,  Eka,  1997,  Pancasila,  Identitas  dan  Modernitas,
Jakarta, BPK Gunung Mulia.

Glenn,  H  Patrick,  2000.  Legal  Traditions  of  The  World,  Oxford
University Press.

Hatta, Moh, 1975, Menuju Negara Hukum, Jakarta, Yayasan Idayu.

Jawamaku,  Anton,  1993,  Cita-cita  Hukum  dan  Langkah  Strategis
Pembangunan Hukum, Analisis CSIS No. 1 Bulan Januari-
Februari l993.

Jeremy, Pope, 2002, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem
Integritas Nasional, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Malleson,  Kate,  2003,  The  Legal  System,  United  Kingdom,  Lexis
Nexis.

Milner, Andrew dan JeffBrowit, 2002, Contemporary Cultural Theory,
Third Edition, Australia, Allen Ulwin,

Osman Samsudin, Zulkarnam Hj Awang, Sarojini Naidu, 2000, Good
Govemance Issues and Challengers, INTAN Malaysia.

Persahi,  Kerangka  Landasan  Pembangunan  Hukum,  Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan.

Peters,  AAG,  dan  Koesnani  Siswosoebroto,  1990,  Hukum  dan
Perkembangan Sosial Buku III, Jakarta, Sinar Harapan.
Prawiro,  Wahono,  1977,  Utilitarianisme  dan  Masalah  Keadilan,
Majalah Driyarkara VI Nomor 2 Tahun 1977.

Priyono, Herry, 1984, Teori Keadilan John Rawls, Majalah Dryarkara
XI Nomor 4 November 1984.

Puji  Rahayu,  Esmi  Warassih,  2001,  Pemberdayaan  Masyarakat
dalam  Mewujudkan  Tujuan  Hukum,  Proses  Penegakan
Hukum  dan Persoalan Keadilan, Pidato Pengukuhan Guru
Besar, UNDIP 14April2001.
Rahardjo,  Satjipto,  1983,  Permasalahan  Hukum  di  Indonesia.,
Bandung, Alumni.

_________, tth, Masalah Penegakan Hukum, Bandung, Sinar Baru.

_________, Hukum  Progresif, Hukum  yang Membebaskan,  dalam
Jurnal Hukum, Progresif, Volume I/Nomor 1/ApriI 2005.

Read Full Post »

Makalah Hukum Adat

HUKUM ADAT DALAM PANDANGAN  PARA  SARJANA HUKUM

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum  adat  merupakan  suatu  istilah  yang  diterjemahkan
dari Bahasa Belanda. Pada mulanya hukum adat  itu dinamakan
“adat rect” oleh Snouchk Hurgronje dalam bukunya yang berjudul
“De Atjehers”. Buku ini artinya adalah orang-orang Aceh.
Mengapa  Snouchk  Hurgronje  memberi  judul  “Orang-orang
Aceh ?” karena pada masa Penjajah Belanda orang Aceh sangat
berpegang teguh pada hukum Islam yang saat itu dimasukkan ke
dalam hukum adat.
Istilah  Adatrecht  digunakan  juga  oleh  Van  Vollenhoven
dalam bukunya yang berjudul “Het Adat-Recht Van Nederlandsch
Indie”  yang  artinya  hukum  ada  Hindia  Belanda.  Mengapa  Van
Vollenhoven  memberi  judul  hukum  adat  Hindia  Belanda  dalam
Bukunya ? Karena Van Vollenhoven menganggap bahwa  rakyat
Indonesia banyak yang menganut hukum adat pada masa Hindia
Belanda.
Melalui  buku  “Het  Adat-Recht  Van  Nederlandsch”  Van
Vollenhoven  dianggap  sebagai  Bapak  Hukum  Adat  karena
masyarakat  Indonesia menganggap bahwa sebutan hukum adat
bagi  hukum  yang  digunakan  oleh  Bumiputera merupakan  buah
pemikiran Van Vollenhoven.
Jika  diamati  sebenarnya  asal  mula  hukum  adat  itu  dari
Bahasa  Arab  yaitu  “adati”  yang  berarti  kebiasaan  masyarakat. Pada abad 19 pada saat peraturan-peraturan agama mengalami
kejayaan  timbullah  teori  “Receptio  in  complexu”  dari  Van  den
Berg dan Salmon Keyzer yang menyatakan bahwa  “hukum adat
itu merupakan penerimaan dari hukum agama  yang dianut oleh
masyarakat”.  Tetapi  hal  ini  ditentang  keras  oleh  Smouchk
Hurgronje, Van Vollenhoven dan Ten Haar Bzn.
Walaupun hukum agama  itu mempunyai pengaruh  terhadap
perkembangan  hukum  adat,  tetapi  tidak  begitu  besar
pengaruhnya  karena  pengaruh  hukum  agama  hanya  terbatas
pada beberapa daerah saja.

B. Tujuan
Seperti yang kita ketahui, pandangan mengenai hukum adat
dari para Sarjana  itu banyak sekali. Para  itu banyak sekali. Para
sarjana  seperti  Van  Vollenhoven,  Ten  Haar.  BZN,  dan
Djojodigoeno  mengemukakan  pendapat  mereka  dalam
pernyataan  yang  berbeda,  sehingga  membutuhkan  analisis
dalam  pernyataan  yang  berbeda,  sehingga  membutuhkan
analisis  untuk  menentukan  sebenarnya  apa  itu  hukum  adat  ?
Mengapa  hukum  adat  harus  ditemukan  ?  Mengapa  hukum
agama tidak berpengaruh besar dalam hukum adat ?

C. Rumusan Masalah
–  Bagaimanakah  pandangan  Van  Vollenhoven,  Ten  Heaar,
BZN, dan Djojodigoeno tentang hukum adat ?
–  Mengapa  hukum  adat  harus  ditemukan  ?  Apa  arti  penting
hukum adat bagi rakyat Indonesia dari zaman Hindia Belanda
sampai sekarang ? –  Mengapa Snouchk Hurgunte, Van Vallenhoven dan Ten Haar.
BZN, menentang keras bahw hukum adat berasal dari hukum
agama ?

PEMBAHASAN

1.  Pandangan Van Vollenhoven, Ten Haar, BZN, dan Djojodigoeno
tentang Hukum Adat.
Pandangan  para  tokoh  mengenai  hukum  adat  itu  sangat
comlex. Banyak pendapat tentang hukum adat yang berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pandangan  Van  Vollenhoven  tentang  hukum  adat.  Van
Vollenhoven  adalah  Bapak  hukum  adat  Indonesia  yang
memberikan  ketegasan  dan  persoalan  mengenai  hukum  adat.
Walaupun  Van  Vollenhoven  belum  pernah  ke  Indonesia,  tetapi
pandangannya mengenai hukum adat diakui oleh seluruh bangsa
Indonesia.
Menurut  Van  Vollenhoven  Hukum  adat  itu  merupakan
tingkah  laku manusia yang mempunyai sanksi. Sanksi  ini sangat
ditaati  oleh  semua  pihak walaupun  tidak  terkodifikasi  atau  tidak
tertulis  dalam  perundang-undangan  di  Indonesia  karea  sanksi
merupakan  hukuman  atas  pelanggaran  yang  dilakukan  oleh
seseorang.
Selain Von Vollenhoven kita pun mengenai Ten Haar. BZN
mendifinisikan  hukum  itu  sebagai  keputusan-keputusan
masyarakat hukum yang berwibawa dari kepala rakyat hingga ke
seluruh  rakyat.  Keputusan-keputusan  itu  menjadi  aturan  bagi masyarakat  dan  aturan-aturan  itu  ada  yang  tertulis  dan  tidak
tertulis.  Keputusan  yang  tertulis  itu merupakan  keputusan  raja.
Dalam pandangannya Ter Haar mengatakan bahwa hukum harus
mengambil  keputusan  yang  sesuai  dengan  hukum  adat  karena
hakim  harus  bijaksana  sebagai  titik  pangkal masyarakat  dalam
menegakkan hukum.
Selain yang dikatakan oleh Van Vollenhoven dan Ten Haar.
BZN  ada  juga  Sarjana  hukum  adat  dari  Indonesia  yaitu  Prof.
Djojodigoeno.
Prof. Djojodigoeno mengungkapkan bahwa hukum adat  itu
merupakan karya dari masyarakat  tertentu yang bertujuan untuk
mendapatkan  keadilan  dalam  tingkah  laku  manusia.  Menurut
Prof.  Djojodigoeno  hukum  itu  dapat  terlihat  dari  pernyataannya
yaitu pernyataan yang berwujud perundang-undangan (legislatif),
pernyataan  yang  berwujud  Jurisprudency  yaitu  yudikatif,
eksekutif  dan  kepolisian,. Pernyataan  yang  berwujud  keputusan
kekuasaan tertinggi dari negara misalnya pernyataan perang.
2.  Alasan  Hukum  Adat  harus  ditemukan  dan  arti  penting  hukum
adat  bagi  rakyat  Hindia  Belanda  dari  zaman  Hindia-Belanda
sampai sekarang.
Sebenarnya hukum adat itu sudah ada sejak zaman Hindia-
Belanda.  Tetapi  pada  saat  itu  kolonial  Belanda  tidak  pernah
mengakui  keberadaan  hukum  adat  Bangsa  Indonesia,  yang
mereka  akui  dan  harus  ditaati  oleh  seluruh  rakyat  Indonesia
hanyalah  hukum  barat  sesuai  dengan  hukum  bangsa  Belanda.
Bangsa  Indonesia wajib mengikuti hukum yang  telah diterapkan
itu. Hukum barat atau Burgelijk Wetbook  itu akhirnya menyatu
dalam  hukum  Indonesia.  Walaupun  koloni  pernah
memperbolehkan  indonesia  menggunakan  hukum  agama  itu
hanya merupakan taktik Belanda supaya tidak diusir oleh bangsa
Indonesia.
3.  Alasan Snouch Hurgronje, Van Volenhoven dan Ter Haar, BZN
menentang keras bahwa hukum adat berasal dari agama.
Ada yang mengatakan bahwa hukum adat  itu berasal dari
hukum  agama.  Secara  teori  hal  tersebut  dapat  dibenarkan
karena  adat  istiadat  merupakan  suatu  golongan  hukum  yang
dahulu berasal dari hukum agama. Hukum agama itu berasal dari
Tuhan dan ditaati oleh masyarakat.
Tetapi  teori  itu  ditentang  oleh  Snouchk  Hurgranje,  Van
Vollenhoven  dan  Ter  Haar.  HZN.  Alasan  Snouchk  Hurgronje
menentang teori tersebut karena menurutnya tidak semua hukum
agama bisa diterima dan bersatu dengan hukum adat karena ada
perbedaan diantara keduanya misalnya dalam islam tidak dikenal
adanya sedekah laut, tetapi dalam adat justru melakukan itu.
Alasan Ter Haar pun  tidak  jauh berbeda dengan Snouchk
Hurgranje  yaitu  hukum waris merupakan  hukum  adat  asli,  tidak
dipengaruhi  oleh  hukum  agama  karena  merupakan  himpunan
norma-norma  yang  cocok  dengan  susunan  dan  struktur
masyarakat.
Van  Vollenhoven  mempunyai  persepsi  yang  berbeda,
walaupun  sama-sama  menentang,  tetapi  Van  Vollenhoven
memberikan ketegasan dalam bukunya,  tetapi Van Vollenhoven
memberikan  ketegasan  dalam  bukunya  “Adat  recht  II”.  Van
Vollenhoven  mengatakan  bahwa  dalam  menentukan  apakah benar bahwa hukum adat  tidak berasal dari agama, maka harus
diadakan  tujuan  kembali  sampai pada waktu  islam berkembang
di negara-negara Arab hingga masuk ke Indonesia.
(Prof.  Imam  Sudiyat,  S.H.  Asas-asas  hukum  Adat  Bekal
Pengantar Hal. 4)
Maka  menurut  Van  Vollenhoven  untuk  membuktikannya
harus ada tinjauan hukum yaitu sesuai dengan bagan berikut ini :

Dan supaya bisa tetap bertahan di Indonesia

Walaupun  sebenarnya  pada  abad  pertengahan,  Indonesia
mempunyai  sarjana  hukum,  tetapi  mereka  hanya  merupakan
praktek  dan  bukan  sarjana  hukum,  tetapi  mereka  hanya
merupakan praktek dan bukan sarjana hukum yang menampilkan
hukum  adat  untuk  orang  asing  (Van  Vollenhoven.  Penemuan
hukum adat. Hal. 3)
Oleh  karena  itu  maka  hukum  adat  harus  ditemukan  dan
diterapkan dalam hukum Indonesia karena dalam hukum adat itu
terdapat ciri khas bangsa Indonesia.
Hukum adat dapat ditemukan dengan didirikannya “Batavia
asch  Genootschap  Van  Kunsten  en  Wetenschappen”  atau
lembaga  yang  merupakan  lembaga  tertua  di  Indonesia  dan
lembaga  ini  mempunyai  pengaruh  terhadap  penelitian  hukum
adat  selanjutnya.  (Van  Volenhoven  penemuan  hukum  adat  hal.
14).

Arab  Kekuasaan Ummayah  Madinah  Indonesia Selain itu, hukum adat itu memunyai naluri terhadap hukum
lainnya  karena  hukum  adat  itu  dapat  berhubungan  dengan
hukum agama, pidana, perdata dan aspek hukum lainnya karena
jika  hakim  tidak  dapat  memutus  suatu  perkara  yang  tidak  ada
dasar  hukumnya  maka  hakim  dapat  mencari  dan  menggali
sendiri hukum yang hidup dalam masyarakat.
Arti Penting Hukum Adat bagi Indonesia
Hukum  adat  itu  sangat  penting  bagi  bangsa  Indonesia,
seperti  yang  telah  dijelaskan  pada  pembahasan  sebelumnya
bahwa  hukum  adat  itu  bisa  menjadi  hukum  yang  tegas  bagi
masyarakat. Seperti masyarakat Baduy, bagi masyarakat Baduy
hukum  adat  itu  merupakan  hukum  yang  bersifat  memaksa
(dwingenrecht)  karena masyarakat Baduy  akan memberi  sanksi
pada  masyarakatnya  yang  melakukan  pelanggaran  terhadap
hukum adat. Selain masyarakat Baduy  juga masih banyak suku-
suku bangsa lain yang masih berpegang teguh pada hukum adat.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi hukum adat menurut pandangan para tokoh walaupun
berbeda, tetapi maksud para tokoh seperti Van Vollenhoven, Ter
Haar.  BZN  dan  Djojodigoeno  itu  sama.  Mereka  memandang
hukum  adat  itu  sebagai  tingkah  laku manusia  yang mempunyai
sanksi  dalam  keputusan-keputusan  yang  bertujuan  untuk
mendapatkan  keadilan  dalam  tingkah  laku manusia  yang  harus
ditemukan  dan  diberlakukan  dalam  hukum  adat  Indonesia  dan
hukum  adat  pun  mempunyai  kaitan  dengan  hukum  agama
walaupun hukum agama  tidak mempunyai pengaruh yang besar
terhadap hukum adat karena  terdapat perbedaan antara hukum
adat  dan  hukum  agama,  sehingga  untuk  membuktikannya  kita
harus  melakukan  analisis  terhadap  hukum  agama  mulai  dari
agama  islam  berkembang  di  arab  sampai  berkembang  di
Indonesia.

B. Saran
Walaupun  hukum  agama  tidak  berpengaruh  terhadap
hukum  adat,  tetapi  kita  harus  seimbang  dalam  menjalankan
keduanya  begitupun  dengan  hukum  barat  karena  hukum
Indonesia  saat  ini  memakai  ketiga  hukum  itu  sesuai  dengan
pasal 11 aturan peralihan UUD 1945.
Maka  ketiga  hukum  itu  harus  kita  jaga  dan  pelihara  agar
tidak terjadi ketidakadilan dalam pelakanaannya oleh hakim. Selain  itu,  jika  hakim  tidak  dapat  memecahkan  masalah
karena  tidak  ada  UU  yang  mengaturnya,  maka  hakim  wajib
menggali dan menemukannya dalam hukum adat.

DAFTAR PUSTAKA

C.Van  Vollenhoven.  1987.  Penentuan  Hukum  Adat.  Jakarta;
Djambatan.

Prof.  Sudiyat  Iman,  S.H.  1991.  Asas-Asas  Hukum  Adat  Bekal
Pengantar. Yogyakarta; Liberty.

http://www.gatra.com

http://www.hukumonline.com

___________.  2008.  Pandangan  Vanvollenhoven  tentang  hukum
adat. http://www.gatra.com, diakses 15 Maret 2008.

___________.  2008.  Analisis  tentang  Hukum  Adat.
http://www.hukumonline. com, diakses 15 Maret 2008.

Read Full Post »

Makalah Hukum Pers

MAKALAH HUKUM PERS
Eksistensi TV Sebagai Media Penyiaran di Indonesia

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan  teknologi komunikasi dan  informasi
telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar
tuntutannya  akan  hak  untuk mengetahui  dan  hak  untuk
memperoleh  informasi.  Informasi  telah  menjadi
kebutuhan  pokok  bagi  masyarakat  dan  telah  menjadi
komoditas  penting  dalam  kehidupan  bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Perkembangan  teknologi komunikasi dan  informasi
tersebut  telah  membawa  aplikasi  terhadap  dunia
penyiaran,  termasuk  penyiaran  di  Indonesia.  Penyiaran
sebagai  penyalur  informasi  dan  pembentuk  pendapat
umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam
perkembangan demokrasi di negara kita. Penyiaran telah
menjadi  salah  satu  sarana  berkomunikasi  bagi
masyarakat,  lembaga  penyiaran,  dunia  bisnis,  dan
pemerintah. Perkembangan tersebut telah menyebabkan
landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada selama
ini  menjadi  tidak  memadai.  Peran  serta  masyarakat   2
dalam  menyelenggarakan  sebagian  tugas-tugas  umum
pemerintah,  khususnya  di  bidang  penyelenggaraan
penyiaran,  tidaklah  terlepas  dan  kaidah-kaidah  umum
penyelenggaraan  telekomunikasi  yang  berlaku  secara
universal.
Dengan  diundangkan  dan  diberlakukannya  UU
nomor  32  Tahun  2002  tentang  penyiaran,  dunia
penyiaran  kita  mengalami  perubahan  yang  berarti.
Pertumbuhan  penyiaran  radio  dan  televisi  baik  di  kota
maupun  di  daerah  akan  meningkat.  Di  samping
bertambah  luasnya  penyiaran,  khususnya  televisi,
membuat  banyak  perubahan  struktur  dari  gemeinschaft
menjadi  gesselsehaft.  Perubahan  tersebut
mengakibatkan  munculnya  sifat-sifat  egois  pada  setiap
individu.  Terbukanya  peluang  bagi  masyarakat  untuk
berusaha  di  bidang  penyiaran  juga  mengakibatkan
lembaga  penyiaran  tidak  memperhatikan  nilai-nilai
agama  dan  budaya  bangsa  dalam  menayangkan  /
mensiarkan program siarannya.
Di  bawah  ini  akan  dibahas,  tayangan-tayangan
televisi  di  Indonesia  yang  akhir-akhir  ini  banyak
meresahkan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Sudah efektifkah tayangan televisi di Indonesia ?
2. Bagaimanakah peran Komite Penyiaran Indonesia ?

PEMBAHASAN

A. Keberadaan Televisi
Televisi  makin  populer  serta  makin  perkasa  di
masyarakat  Indonesia.  Hampir  setiap  pasang  mata
manusia Indonesia setiap hari tertuju kepadanya. Sesuai
dengan sifat masyarakat kita yang masih masuk kategori
viewers soclety (masyarakat pemirsa), maka keberadaan
televisi  makin  hari  makin  menjadi  idola  bahkan  oleh
banyak  kalangan  sempat  disebut  sebagai  agama  baru.
Sadar  akan  keberadaannya,  maka  para  pengelola
televisi  nasional  berusaha  secara  maksimal,  terutama
sesuai  dengan  salah  satu  fungsinya  sebagai  lembaga
teknis,  saling  berebut  kue  keuntungan  (profit).
Senyalemen Theodore Adarno yang dia sampaikan pada
1962  melalui  teorinya  Political  ekonomic  degan
menyebut  bahwa  media  massa  akan  menjadi  alat
penguasa  dan  penguasa  untuk meraih  kepentingannya,
makin menjadi kenyataan.

Sayangnya  antusiasme  yang menggebu-gebu  dari
para  pengusaha  untuk  mengelola  stasiun  televisi
(television  broadcast) menyebabkan munculnya  stasiun
televisi  nasional  yang  terlalu  banyak  jumlahnya.
Bandingkan  sebelas  stasiun  televisi  nasional  yang
beroperasi  di  Indonesia,  dengan  hanya  empat  stasiun
televisi  sejenis  yang  ada  di  AS.  Padahal  belanja  iklan
sebagai  napas  utama  kehidupan  telvisi,  di AS mungkin
mencapai  lebih dari sepuluh kali  lipat di  Indonesia  yang
pada tahun 2005 mencaai 26,5 triliun rupiah. Dampaknya
tentu  pada  terjadinya  persaingan  yang  sangat  tidak
sehat,  terutama  dalam  meraih  akses  pemirsa  yang
ujung-ujungnya  tentu  akan  mempengaruhi  jumlah  iklan
yang akan diraihnya.
Tak  jarang  mentalitet  menerabas  pun  mereka
lakukan  dalam  berebut  kue  iklan.  Karena  itu,  tidak
mengherankan  bila  selanjutnya  banyak  tayangan  yang
tidak sehat / tidak layak tonton yang tersaji, kita lihat saja
misalnya  tayangan  infotainment  yang  hampir  sehari
penuh  kita  saksikan  lewat  berbagai  stasiun  secara
bergantian  jam  tayang,  yang  isinya  sebagian  besar
gosip,  serta  info-info  lain  yang  sering  sumbernya hanya
isu,  yang  jelas  selain  tidak  mendidik,  hal  tersebut   5
bertentangan  dengan  prinsip  serta  etika  jurnalistik.
Karena  itu,  tak  kurang  akhirnya  Nahdatul  Ulama  (NU)
berdasarkan  masukan  dari  berbagai  wilayah
mengusulkan  dikeluarkannya  satwa  haram.  Meski  bila
akhirnya  fatwa  tersebut  muncul  hanya  akan  mengikat
warga  NU,  namun  setidaknya  gerakan  moral  yang
dilakukan ormas  islam  terbesar di  Indonesia merupakan
signal  konkret  yang  harus  memperoleh  perhatian
pengelola TV. Masih banyak bagi contoh  tayangan  lain,
misalnya  kasus  penganiayaan  lain,  misalnya  kasus
penganiayaan  polisi  di  Abepura  secara  berlebihan
sehingga Ade Armando dari KPI melakukan class action,
pertarungan  antar  suku  di  Timika  yang  penayangannya
terkesan berlebihan, kekerasan antara kelompok bahkan
berbagai  sajian  kekerasaan  yang  ditujukan  pada  anak
misalnya Smuckdown.
Menjamunya  stasiun  televisi  menumbuhkan
ketatnya persaingan antara  industri penyiaran, sehingga
“perang”  program  siaran  antar  televisi  menjadi  menu
wajib  sehari-hari. Program  yang  ditawarkan berorientasi
pada pemenuhan selera pasar. Lihat saja program acara
sinetron dengan pengusung  tema percintaan dikalangan
remaja  yang  penuh  intrik  kelicikan  dan  kebencian,
ketidak  disiplinan  anak  sekolah  dalam  berpakaian,   6
hilangnya  budaya  sopan-santun,  heclonisme,
infotainment  yang  mengumbar  gosip,  aib,  fitnah.  Juga
film  yang menggumbar  kekerasan,  horor, mistik  sampai
pada  adegan  seksual  lebih  dominan  tinimbang  acara-
acara yang positif.
Pertimbangan  untung-rugi  menjadi  faktor  dominan
bagi  industri  televisi  dalam  memproduksi  program.
Sementara  aspek  sosial,  budaya,  dan  pendidikan
menempati  urutan  paling  akhir.  Pendek  kata  kualitas
belum  menjadi  prioritas.  Dalam  kondisinya  yang
demikian,  keberadaan  televisi  benar-benar  menjelma
menjadi  representasi  kekuatan  pasar.  Logika  ini
“mengharuskan”  pengelola  telvisi  meletakkan  dan
memosisikan  masyarakat  /  pemirsa  sebagai  potensi
pasar  /  obyek  yang  harus  dimaksimalkan  untuk
menghasilkan  keuntungan  ekonomi  sebesar-besarnya.
Mereka  lupa  bahwa  mayoritas  masyarakat  kita  kurang
terdidik  dan  kaernanya  kurang  critis,  termasuk  yang
berada di pedesaan.  Mereka juga lupa bahwa sebagian
pemirsa  adalah  anak-anak  dan  remaja  yang  cenderung
meniru apa yang mereka lihat.
Meski demikian, tentu tidak arif jika kita serta-merta
memvonis  kehadiran  telvisi  dengan  sederet  program
sepenuhnya  membawa  dampak  negatif.  Ada  pula  sisi   7
positif  yang  dapat  kita  petik  namun  karena  dominasi
acara  yang  lebih  pro  terhadap  selera  pasar  sehingga
menenggelamkan  sisi  positif  kehadiran  media  televisi.
Karena  itulah  fungsi  dan  peran  idealnya  sebagai  agen
komunikasi,  budayadan  pencerdasan  serta  mendidik
mental  bangsa  termarginalisasi  oleh  kepentingan
mencari  untung.  Menonton  televisi  berbeda  dengan
baca-tulis.  Perkembangan  keadaannya  jauh melampaui
media cetak majalah, koran, apalagi buku. Televisi  telah
menjadi  media  keluarga,  telah  menjadi  salah  satu
prasyarat  yang  “harus”  berada  di  tengah  mereka.
Sebuah rumah baru dikatakan  lengkap  jika ada pesawat
televisi di dalamnya. Realitas masyarakat saat ini banyak
dipengaruhi  media  televisi.  Pengaruh  televisi  memang
tidak  harus  langsung  terlihat,  namun  terpaan  yang
berulang-ulang  pada  akhirnya  dapat  mempengaruhi
sikap dan tindakan pemirsa.

B. Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia
Dalam UU No.  32 Tahun 2002  tentang Penyiaran,
disebut,  KPI  berfungsi  sebagai  media  informasi
pendidikan,  hiburan  yang  sehat.  Kontrol  dan  perekat
sosial  (pasal  4).  Dalam  menjalankan  fungsinya
berwenang  menetapkan  standar  program  siaran,
menyusun  peraturan,  dan  menetapkan  pedoman   8
penyiaran,  serta mengawasi  pelaksanaannya.  KPI  juga
berwenang  untuk  memberikan  sanksi  terhadap
pelanggaran  standar  program  siaran,  dan  peraturan
serta  pedoman  perilaku  penyiaran  (pasal  8  :  2).
Sedangkan  tugas pokok KPI antara  lain  ialah menjamin
masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan
benar  sesuai  dengan  HAM, menampung, meneliti,  dan
menindaklanjuti  aduan,  sanggahan,  serta  kritik  dan
aspirasi masyarakat  terhadap  enylenggaraan  penyiaran
(8 : 3).
Yang dilarang dalam  isi siaran  ialah bersifat  fitnah,
menghasut,  menyesatkan  dan  bohong,  menonjolkan
unsur  kekerasan,  cabul,  perjudian,  penyalahgunaan
narkotika  dan  obat  terlarang,  mempertentangkan  suku,
agama,  ras,  dan  antar  golongan,  memperolok-olok,
merendahkan  melecehkan  dan  mengabaikan  nilai-nilai
ajaran  agama,  martabat  manusia,  atau  merusak
hubungan internasional (ps 36 : 5,6)
Dengan terbentuknya KPI, maka kekosongan peran
kontrol  terhadap  isi siaran di  televisi dan  radio sekarang
sudah  terisi. Hanya saja kebanyakan warga masyarakat
belum tahu keberadaan lembaga baru ini.   9
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tayangan-tayangan  TV  ternyata  bertentangan
dengan apa yang telah diamanat oleh UU No. 32 / tahun
2002  tentang  penyiaran,  dimana  masih  banyak  siaran-
siaran  yang  menonjolkan  unsur  kekerasan,  cabul,
perjudian, dan penyalahgunaan narkoba. Stasiun televisi
dalam  menyiarkan  programnya  hanya  bertujuan  untuk
mencari  untuk  belaka  tanpa  memperhatikan  nilai-nilai
agama  dan  budaya  (etis)  dan  tidak menonjolkan  unsur
pendidikan, menyampaikan informasi.

B. Saran
Menurut  saya,  saat  ini  dunia  hiburan  harus
dikonstruksi sebagai bagian dari tata nilai sosial budaya.
Masyarakat  dan  pers  harus  dilihatkan  sebagai
pengawas.  Tradisi  saling  menyalahkan  harus  diakhiri.
Kebersamaan  dan  proporsionalitas  dalam  membuat
desain  acara  mesti  menjadi  ruh  tim  kreasi,  sehingga,
yang  muncul  adalah  semangat  menghibur  sekaligus
mendidik  layaknya  sebuah  kehidupan  seseorang  pasti
memiliki  kekuranga  dan  kelebihan  ataupun
kehebatannya.  Akan  tetapi,  orang  yang  bijaksana  dan
mau  berkembang  adalah  orang  yang  mau  berusaha   10
untuk  mengurangi  kekurangannya  itu  menuju  pribadi
sejati.
Begitu pula dengan stasiun-stasiun TV, kiranya siap
berusaha  memperbaiki  segala  kekurangan  itu  menuju
stasiun  penyiaran  yang  mendidik  dan  berusaha
membangun mentalitas  bangsa  dengan  tayangan  yang
berkualitas  dan  memiliki  nilai-nilai  luhur.  Itulah  yang
mestinya  kita  bangun  bersama.  Sudah  saatnya,  dunia
infotainment  /  stasiun  tv  menjadi  lokomtof  budaya.
Sehingga  nilai-nilai  positif  yang  disampaikan  timbuh
subur  di  masyarakat.  Dengan  begitu,  kebebasan
informasi  yang  saat  ini mekar  tidak menjadi  racun,  tapi
malah menjadi madu  lagi  pembangunan moral  bangsa.
Ingat,  moralitas  sebuah  bangsa  dapat  dilihat  seberapa
kualitas infomasi dan hibungan yang diserap.

11
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Oemar Seno Adji, S.H. 1973. Mas Media dan Hukum.
Erlangga. Jakarta.
Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers.
http://www.kompas.com
http://www.mediaindonesia.online.com
http://www.hukumonline.com

Read Full Post »

PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI PELUANG
MENCIPTAKAN KEADILAN

PENDAHULUAN
Penegakan  hukum  merupakan  pusat  dari  seluruh  “aktivitas
kehidupan”  hukum  yang  dimulai  dari  perencanaan  hukum,
pembentukan  hukum,  penegakan  hukum  dan  evaluasi  hukum.
Penegakan  hukum  pada  hakikatnya  merupakan  interaksi  antara
berbagai  perilaku  manusia  yang  mewakili  kepentingan  –
kepentingan  yang  berbeda  dalam  bingkai  aturan  yang  telah
disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat
semata-mata  dianggap  sebagai  proses  menerapkan  hukum
sebagaimana pendapat kaum  legalistik. Namun proses penegakan
hukum  mempunyai  dimensi  yang  lebih  luas  daripada  pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi
perilaku  manusia.  Dengan  pemahaman  tersebut  maka  kita  dapat
mengetahui  bahwa  problem-problem  hukum  yang  akan  selalu
menonjol  adalah  problema  “law  in  action”  bukan  pada  “law  in  the
books”.
Pada  saat  ini  dapat  mengamati,  melihat  dan  merasakan
bahwa  penegakan  hukum  berada  dalam  posisi  yang  tidak
menggembirakan.  Masyarakat  mempertanyakan  kinerja  aparat
penegak  hukm  dalam  pemberantasan  korupsi,  merebaknya  mafia
peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di
kalangan  birokrasi.  Dafatar  ketidakpuasan  masyarakat  dalam
penegakan  hukum  semakin  bertambah  panjang  apabila membuka
kembali  lembaran –  lembaran  lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan  Udin,  kasus  Sengkon  dan  Karta,  kasus  Tanah  Keret  di
Papua dan lain-lainnya.
Pengadilan  yang  merupakan  representasi  utama  wajah
penegakan  hukum  dituntut  untuk  mampu  melahirkan  tidak  hanya
kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan
pemberdayaan  sosial  melalui  putusan  –  putusan  hakimnya.
Kegagalan  lembaga  peradilan  dalam  mewujudkan  tujuan  hukum
diatas  telah  mendorong  meningkatnya  ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat
terhadap  lembaga-lembaga  hukum  telah  berada  pada  titik  nadir.
Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan
atau  ulasan  yang  berhubungan  dengan  lembaga-lembaga  hukum
kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita
semua  adalah  merosotnya  rasa  hormat  masyarakat  terhadap
wibawa hukum.
Bagaimana  juga masih banyak warga masyarakat yang  tetap
menghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan.
Meskipun  demikian  sah-sah  juga  kiranya  apabila  masyarakat
mempunyai penilaian  tersendiri  terhadap putusan  tersebut. Adanya
penilaian  dari  masyarakat  ini  menunjukkan  bahwa  hukum  /
pengadilan  tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  struktur  sosial
masyarakatnya. Hukum  tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial
lingkungannya.  Oleh  karena  itu  wajar  kiranya  apabila  masyarakat
mempunyai  opini  tersendiri  setiap  ada  putusan  pengadilan  yang
dipandang  bertentangan  dengan  nilai  –  nilai  keadilan  hidup  dan
tumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya  tidak  akan  berhenti  hanya  sebatas munculnya
opini  publik,  melainkan  berdampak  sangat  luas  yaitu  merosotnya
citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat
akan  luntur  dan mendorong munculnya  situasi  anomi. Masyarakat
kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.

SUMBER WIBAWA HUKUM
Dalam  pikiran  para  yuris,  proses  peradilan  sering  hanya
diterjemahkan  sebagai  suatu  proses  memeriksa  dan  mengadili
secara  penuh  dengan  berdasarkan  hukum  positif  semata-mata.
Pandangan  yang  formal  legistis  ini  mendominasi  pemikiran  para
penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,
itulah yang akan menjadi hukumnya.
Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan
hukum yang kaku,  tidak diskresi dan cenderung mengabaikan  rasa
keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.
Proses  mengadili  –  dalam  kenyataannya  bukanlah  proses  yuridis
semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-
pasal  dan  bunyi  undang  –  undang,  melainkan  proses  yang
melibatkan  perilaku  –perilaku  masyarakat  dan  berlangsung  dalam
struktur  sosial  tertentu.  Penelitian  yang  telah  dilakukan  oleh Marc
Galanter  di  Amerika  Serikat  dapat  menunjukkan  bahwa  suatu
putusan  hakim  ibaratnya  hanyalah  pengesahan  saja  dari
kesepakatan  yang  telah  dicapai  oleh  para  pihak. Dalam  perspektif
sosiologis,  lembaga  pengadilan  merupakan  lembaga  yang  multi
fungsi  dan  merupakan  tempat  untuk  ”record  keeping”,  ”site  of
administrative  processing”,  ”ceremonial  changes  of  status”,
”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk  dari  pengadilan  adalah  putusan  hakim.  Dari  sinilah
awal  dapat  dibangunnya  wibawa  hukum.  Dalam  putusan  hakim,
wibawa  hukum  dipertaruhkan.  Para  petinggi  hukum  tidak  perlu
berteriak-teriak  minta  kepada  masyarakat  agar  menghormati
pengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupun
MA membuat  putusan  yang  bermutu  tinggi, maka  rasa  hormat  itu
akan datang dengan sendirinya.
Kiranya  masyarakat  dapat  memberikan  penilaian  tersendiri
terhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwa
menegakkan  wibawa  pengadilan  tidakkah  semudah  membalik
telapak  tangan.  Sistem  peradilan  di  Indonesia  yang  merupakan
warisan  kolonial  Belanda  sedikit  banyak  menyulitkan  dalam
prakteknya.  Sisa-sisa  perilaku  sebagai  bangsa  terjajah  masih
tampak  di  kalangan  para  hakim.  Sebagai  contoh,  sampai  saat  ini
kita masih  bisa melihat  digunakannya Osterman  Arrest  dari  Hoge
Raad Belanda sebagai contoh  tentang Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Dari  sisi  ini  setidaknya  kita  dapat melihat  adanya  tiga  hal,
yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diri
untuk  mengutip  yuriprudensi  dari  Mahkamah  Agung  Indonesia.
Kedua, kemungkinan memang  tidak ada putusan hakim  (MA) yang
dapat  dianggap  berkualitas  kasus  itu.  Ketiga,  menganggap
yuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya  kritik-kritik  terhadap  keberadaan  lembaga
peradilan  tidak  lain  karena  peradilan  kita  tidak  dapat memberikan
pengayoman  kepada  warg  masyarakat.  Putusan  pengadilan  yang
diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang
terganggu  tidak  dapat  terpenuhi.  Adanya  isu  mafia  peradilan,
keadilan  dapat  dibeli,  munculnya  bahasa-bahasa  yang  sarkastis dengan  plesetan  HAKIM  (Hubungi  Aku  Kalau  Ingin  Menang),
KUHAP  diplesetkan  sebagai  Kurang  Uang  Hukuman  Penjara,
tidaklah  muncul  begitu  saja.  Kesemuanya  ini  merupakan  ”produk
sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.
Ungkap-ungkapan  ini  merupakan  reaksi  dari  rasa  keadilan
masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum
yang  tidak  profesional maupun  putusan  hakim/putusan  pengadilan
yang  semata-mata  hanya  berlandaskan  pada  aspek  yuridis.
Berlakunya  hukum  di  tengah-tengah  masyarakat,  mengemban
tujuan  untuk  mewujudkan  keadilan,  kepastian  hukum  dan
kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk
menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,
maka  pengadilan  harus  senantiasa  mengedapkan  empat  tujuan
hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan
dengan  apa  yang menjadi  dasar  berpijaknya  hukum  yaitu  ”hukum
untuk  kesejahteraan masyarakat”. Dengan  demiian,  pada  akhirnya
tidak  hanya  dikatakan  sebagai  Law  and  Order  (Hukum  dan
Ketertiban)  tetapi  telah  berubah  menjadi  Law,  Order  dan  Justice
(Hukum,  Ketertiban,  dan  Ketentraman).  Adanya  dimensi  keadilan
dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya  lembaga
pengadilan,  akan  semakin  mendekatkan  cita-cita  pengadilan
sebagai pengayom masyarakat.

MEMBUDAYAKAN PERILAKU ANTIKORUPSI
Dalam  10  tahun  terakhir,  gelombang  perubahan  yang
menakjubkan  telah  terjadi  di  Indonesia.  Pemerintah  telah  memilih
jalan  untuk  melaksanakan  program  desentralisasi  secara  besar-
besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung
untuk  memilih  presiden,  gubernur,  bupati,  dan  walikota.  Hal  ini
haruslah  dilihat  sebagai  proses  transisi  secara  damai  dari  rezim
otoriter  kepada  rezim  demokrasi  yang  diikuti  pula  dnegan
perubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.
Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untuk
dikaji.  Korupsi  bukanlah  sesuatu  yang  khas  Indonesia.  Hampir  di
kebanyakan negara korupsi selalu  terjadi. Korupsi merebak hampir
di  semua  negara  di  dunia  baik  negara  industri  maupun  negara
berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korup
di  dunia.  Dalam  bidang  pemberantasan  korupsi,  skor  Indonesia
hanya  sejajar  dengan Nigeria  dan  Bangladesh  dan  tertinggal  jauh
apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.
Hasil  survei  ini mencerminkan  transparansi  yang  lebih  besar
mengenai  korupsi  di  Indonesia  dan  menunjukkan  bahwa
masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.
Masyarakat  mengakui  bahwa  korupsi  secara  objektif  terjadi  di
berbagai  sektor  dan masyarakat  juga  berpendapat  bahwa  korupsi
merupakan  kejahatan  yang  harus  dibasmi.  Korupsi  merupakan
ancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesia
karena  korupsi  melemahkan  kemampuan  negara  untuk
menyediakan  barang  –  barang  publik  dan  mengurani  kredibilitas negara  di mata  rakyat. Dalam  jangka  panjang  korupsi merupakan
ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.
Survei  nasional  yang  dilaksanakan  oleh  Partnerhip  for
Governance  Rerofm  in  Indonesia  menyajikan  sumber  informasi
yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik dan
pengusaha. Hasil  survei mengungkapkan  bahwa  75 %  responden
berpendapat  bahwa  korupsi  sangat  lazim  di  sektor  publik.  Di
samping  itu,  65  %  rumah  tangga  melaporkan  telah  mengalami
secara  langsung  dan  70  %  responden  melihat  korupsi  sebagai
“penyakit  yang  harus  diberantas”.  Survei  juga  mengungkapkan
tingkat  kemarahan  publik  dan  kemuakan  terhadap  korupsi.  80  %
responden  menghendaki  agar  pejabat-pejabat  yang  korup
dipenjarakan  dan  disita  kekayaannya.  Sebagian  kecil  responden
menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaris
tidak  ada  dukungan  untuk  memberikan  amnesti  atau  tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu.
Survei  tersebut  menawarkan  tiga  temuan  yang  signifikan.
Pertama,  orang  tidak  terlalu  percaya  pada  lembaga  –  lembaga
negara.  Lembaga-lembaga  yang  dianggap  paling  paling  korup
termasuk  di  sektor  peradilan  (Kepolisian,  Pengadilan,  Kejaksaan
dan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (Dinas
Pabean  dan  Instansi  perpajakan),  Departemen  Pekerjaan  Umum
dan  Bank  Indonesia.  Kedua,  lembaga  –  lembaga  yang  diranking
paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.
Ketiga,  survei  tersebut  memberi  wawasan  terhadap  penyebab-
penyebab  aktual  di  Indonesia. Walaupun  hasil  survei menunjukka
kepercayaan  yang  kuat  bahwa  korupsi  disebabkan  oleh  gaji
pegawai  yang  rendah,  rendahnya  moral  perorangan,  serta  tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisis
data  yang  cermat  menunjukkan  bahwa  empat  variabel  tersebut
berkorelasi  dengan  manajemen  bermutu  tinggi,  nilai  –  nilai
organisasi  yang  anti  korupsi,  manajemen  kepegawaian  bermutu
tinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.
Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak  jaman VOC,
pemberantasan  korupsi  diyakini  akan  sulit  dilakukan  karena  akan
menentang  kepentingan  –  kepentingan  kelompok  yang  kuat,
terorganisasi  secara  rapi  dalam  kelompok  –  kelompok  yang  saling
menguntungkan.  Terjadinya  distorsi  –  distorsi  secara  sistematis
dalam struktur yang menghalalkan sistem  insentif sehingga mampu
mengubah  cara  pengambilan  keputusan  masyarakat  sehingga
mengubah  pula  perilaku  masyarakat  yang  bebas  korupsi  akan
tergambar suasana sebagai berikut  :  (1) Birokrasi sebagai pelayan
publik merasa bertanggung  jawab atas pelayanan mereka, merasa
takut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkan
takut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkan
insentif  resmi  karena  bertindak  jujur.  (2) Masyarakat menganggap
aturan  –  aturan  akan  ditaati  sehingga  masyarakat  memposisikan
perilakunya  dalam  kerangka  peraturan  tersebut.  (3)  Masyarakat
tidak  perlu  membayar  insentif  tidak  resmi  (komisi,  suap,  uang
pelicin)  karena  mengetahui  bahwa  tanpa  membayar  pun  akan
dilindungi  hak-haknya  untuk  mendapatkan  pelayanan  publik  yang
berkualitas.

Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa upaya untuk
membangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dan
komitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terus
menerus  dari  masyarakat  dan  media  massa.  Oleh  karena  itu
mengharapkan  Indonesia  mampu  memberantas  korupsi  dan
membudayakan  perilaku  antikorupsi  dalam  waktu  singkat,  adalah
harapan  yang  berlebihan.  Dibutuhkan  waktu  yang  lama  melalui
proses  yang  disebut  oleh  Peter  L  Berger  sebagai  proses
internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.
Indonesia  menemukan  momentum  untuk  memulai  perang
melawan  korupsi  dengan  dilakukan  perubahan  mendasar  dalam
bidang  ketatanegaraan  yang  memungkinkan  dilaksanakannya
pemilihan  umum  yang  jujur,  bebas,  adil  dan  pemilihan  langsung
presiden pada  tahun 2004. Hal  ini membuat presiden dan anggota
parlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004
tentang  pemerintahan  daerah  akan  meningkat  akuntabilitas  di
tingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegang
kekuasaan publik  lebih berhati – hati karena masyarakat menuntut
akuntabilitas  yang  lebih  besar  sebagai  imbalan  dari  suara  yang
diberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.
Pergeseran  dalam  pemilihan  kepala  daerah  di  Indonesia
haruslah  dilihat  sebagai  peluang  untuk membangun  perilaku  baru
dalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku baru
dalam  penciptaan  keadilan  dan  pemberantasan  korupsi  melalui
kontrak politik antara  calon kepala daerah dan  konstituennya. Dari
tahun  2005  sampai  dengan  tahun  2009  akan  terjadi  pemilihan  33
Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena  itu perubahan sistem  ketatanegaraan  ini  haruslah  dijadikan  sebagai  momentum
untuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.
Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalam
kelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untuk
memerangi  korupsi  dan membangun  perilaku  antikorupsi.  Pranata
hukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yang
menetapkan  sebagai  tujuan  reformasi  yaitu  suatu  aparat  negara
yang  berfungsi  dalam  penyelenggaraan  jasa  kepada  rakyat  yang
profesional,  efisien,  produktif,  transparan,  dan  bebas  dari  kolusi,
knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum  lainnya adalah UU Nomor.
28  tahun  1999  tentang  pemerintah  yang  bersih  dan  bebas  KKN
yang  mengharuskan  pejabat-pejabat  publik  mengumumkan  harta
kekayaannya  dan menyetujui  audit  secara  berkala,  UU  Nomor  31
tahun  1999  tentang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  yang
mendefinisikan  secara  lebih  luas  tentang  pidana  korupsi  dan
menetapkan  gugatan  dan  prosedur  penuntutan,  dan  amandemen
UU  tersebut  melalui  UU  Nomor  2  tahun  2001  yang  meletakkan
beban  pembuktian  kepada  terdakwa.  Selain  itu  juga  sudah
diundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30
tahun  2002  tentang  Komisi  Anti  Korupsi.  Dari  segi  pengelolaan
keuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003
tentang  Keuangan  Negara,  UU  Nomor  1  tahun  2004  tentang
Perbendaharaan  Negara  dan  UU  Nomor  15  tahun  2004  tentang
Tatacara  Pemeriksaan  dan  Pertanggungjawaban  Keuangan
Negara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum di
Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan
korupsi  di  Indonesia  sudah  cukup  memadai  untuk  melakukan
pemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensional
dalam  penegakan  hukum  seperti  kejaksaan  dan  kepolisian,  telah
pula  dibentuk  komisi  ombudsman  nasional  yang  bertugas
menangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)  yang  bertugas  secara  khusus  untuk  menangkap  dan
memeriksa  pelaku  korupsi  dan  pusat  pelaporan  dan  analisis
transaksi  keuangan  (PPATK)  yang  bertugas  untuk  memantau
transaksi  yang  mencurigakan  dan  melaporkan  transaksi  tersebut
kepada Jaksa Agung.

PENUTUP
Haruslah  disadari  benar  bahwa  upaya  menegakkan  hukum
tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang
sekarang  menimpa  lembaga  hukum  hanyalah  satu  proses  untuk
menuju  terciptanya  wibawa  hukum.  Sikap  mawas  diri  merupakan
langkah  terpuji  yang  seyogyanya  dibarengi  dengan  upaya-upaya
yang  bersifat  sistemik  dari  lembaga-lembaga  hukum  mulai
kejaksaan,  kepolisian,  kehakiman,  dan  organisasi  penasehat
hukum.  Sudah  saatnya  lembaga-lembaga  penegak  hukum
melakukan  :  Pertama,  evaluasi  berkesinambungan  atas  semua
program  dan  kebijaksanaan  yang  sudah  dicanangkan,  agar  dapat
mengurangi kendala yang dihadapi  ; Kedua, klarifikasi kasus-kasus
besar  yang  diputuskan  oleh  pengadilan,  sehingga  masyarakat
mengetahui  secara  jelas  pertimbangan  hukum  dan  dasar-dasar
hukum  yang  digunakan.  Ketiga,  adalah  reorientasi  visi  dan  misi
lembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di
bidang  hukum mutlak  perlu. Di  dalam  era  global  seperti  sekarang ini,  dengan  perubahan  sosial  yang  begitu  cepat,  aparat  penegak
hukum  harus  tanggap  dan  melakukan  penyesuaian  diri  dengan
meningkatkan  kemampuan.  Adanya  perbedaan  penafsiran  bunyi
suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang sama
terhadap  suatu  konstruksi  hukum  akan  sangat  mendukung
keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan
persepsi  antar  aparat  penegak  hukum  (Polisi,  Jaksa,  Hakim,  dan
Pengacara)  harus  dikembangkan  sejak  dini.  Pembenahan  paling
dini  dapat  dimulai  dari  sistem  rekrutmennya.  Seperti  yang  kita
ketahui,  rekrutmen  untuk  jabatan-jabatan  inti  dalam  hukum  seperti
hakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum
yang  sangat  bervariasi mutunya.  Pada  umumnya  dapat  dikatakan
bahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksa
bukanlah  lulusan  yang  terbaik.  Seleksi  pelamar  terutama  yang
menyangkut  tentang  kemahiran,  pengetahuan,  dan  kemampuan
hukum tidaklah ketat.
Di  negara  maju,  untuk  seleksi  jabatan  hakim,  jaksa,  dan
advokat  benar-benar  memperhatikan  mutu  pengetahuan,
kemahiran,  dan  kemampuan  hukum.  Seleksi  untuk  memperoleh
jabatan  inti  ini  sangat  ketat. Di  Jepang, hakim,  jaksa, dan advokat
harus  mengikuti  pendidikan  khusus  setelah  mereka  lulus  dari
fakultas  hukum.  Sementara  itu,  Malaysia,  dan  Singapura  melaku-
kan  seleksi  untuk  jabatan  inti  dengan  cara  kerjasama  yang  erat
antara  pendidikan  tinggi  hukum  dengan  institusi  hukum.  Institusi
hukum  ini  hanya  mau  menerima  lulusan-lulusan  terbaik  saja.
Kiranya  kita  dapat  belajar  dari  negara-negara  tetangga  yang  telah
memelopori  peningkatan  kualitas  sumber  daya manusia  di  bidang
hukum. Selain  melakukan  pembenahan  sumber  daya  manusia
sebagai  bagian  dari  brainware  system,  penting  pula  kiranya  untuk
membenahi perangkat hukum sebagai bagian dari software system.
Oleh karena  itu diperlukan pergeseran paradigma dari hukum yang
teknokratis  struktural  menuju  hukum  humams  partisipatoris  yang
dimulai  dari  proses  hukum  yang  paling  awal  karena  terdapat
hubungan  yang  erat  antara  perencanaan  hukum,  pembentukan
hukum,  penegskan  huknm  dan  pendayagunaan  hukum.  Dalam
konteks  penegakan  hukum  itu  sendiri  perlu  dilakukan  redefinisi
bahwa  penegakan  hukum  tidak  lain  adalah  mewujudkan  isi,  jiwa,
dan  semangat  undang-undang/peraturan  ke  dalam  kehidupan
sehari-hari. Oleh  karena  itu,  siapapun  yang  telah mewujudkan  isi,
jiwa  dan  semangat  undang-undang  dalam  kehidupan  sehari-hari,
dirinya adalah penegak hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1989, Perkembangan Pemikiran  tentang Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.

Adamson, Walter L., 1980 Hegemony and Revolution  : A Study of
Antonio  Gramsci’s  Political  and  Culture  Theory.  Berkeley,
University of California Press.

Darmaputera,  Eka,  1997,  Pancasila,  Identitas  dan  Modernitas,
Jakarta, BPK Gunung Mulia.

Glenn,  H  Patrick,  2000.  Legal  Traditions  of  The  World,  Oxford
University Press.

Hatta, Moh, 1975, Menuju Negara Hukum, Jakarta, Yayasan Idayu.

Jawamaku,  Anton,  1993,  Cita-cita  Hukum  dan  Langkah  Strategis
Pembangunan Hukum, Analisis CSIS No. 1 Bulan Januari-
Februari l993.

Jeremy, Pope, 2002, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem
Integritas Nasional, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Malleson,  Kate,  2003,  The  Legal  System,  United  Kingdom,  Lexis
Nexis.

Milner, Andrew dan JeffBrowit, 2002, Contemporary Cultural Theory,
Third Edition, Australia, Allen Ulwin,

Osman Samsudin, Zulkarnam Hj Awang, Sarojini Naidu, 2000, Good
Govemance Issues and Challengers, INTAN Malaysia.

Persahi,  Kerangka  Landasan  Pembangunan  Hukum,  Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan.

Peters,  AAG,  dan  Koesnani  Siswosoebroto,  1990,  Hukum  dan
Perkembangan Sosial Buku III, Jakarta, Sinar Harapan.
Prawiro,  Wahono,  1977,  Utilitarianisme  dan  Masalah  Keadilan,
Majalah Driyarkara VI Nomor 2 Tahun 1977.

Priyono, Herry, 1984, Teori Keadilan John Rawls, Majalah Dryarkara
XI Nomor 4 November 1984.

Puji  Rahayu,  Esmi  Warassih,  2001,  Pemberdayaan  Masyarakat
dalam  Mewujudkan  Tujuan  Hukum,  Proses  Penegakan
Hukum  dan Persoalan Keadilan, Pidato Pengukuhan Guru
Besar, UNDIP 14April2001.
Rahardjo,  Satjipto,  1983,  Permasalahan  Hukum  di  Indonesia.,
Bandung, Alumni.

_________, tth, Masalah Penegakan Hukum, Bandung, Sinar Baru.

_________, Hukum  Progresif, Hukum  yang Membebaskan,  dalam
Jurnal Hukum, Progresif, Volume I/Nomor 1/ApriI 2005.

Read Full Post »

Hukum Perbankan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP INSURABLE
INTEREST
DALAM ASURANSI JIWA

A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara berkembang yang pada saat ini
sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini
merupakan pembangunan yang berkesinambungan dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perkembangan
ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin
maju oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan pembangunan ekonomi di negara
kita.Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
semakin banyak pula kemajuan yang dicapai oleh bangsa
Indonesia. Perkembangan tersebut tidak jarang menimbulkan
kerugian yang cukup besar, antara lain terbakarnya gedung-
gedung, jatuhnya pesawat terbang, hilangnya dana deposan dan
lain-lain. Risiko-risiko tersebut tidak dikehendaki dan tidak dapat
diduga kapan terjadinya oleh siapapun. Oleh karena itu, manusia
berusaha untuk menghidndari risiko atau minimal mengurangi
beban kerugian yang menimpa dirinya atau harta bendanya.
Dalam menghadapi risiko yang dapat terjadi sewaktu-waktu,
perlu diambil langkah-langkah pengamanan agar dapat
mengurangi kerugian apabila risiko tersebut benar-benar
dideritanya.
Adanya risiko-risiko kerugian tersebut, maka melalui
lembaga asuransi dapat dialihkan untuk mengatasinya yaitu
dengan pemberian ganti kerugian oleh lembaga asuransi apabila
risiko itu benar-benar terjadi.
Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga
keuangan menjadi penting peranannya karena dari kegiatan
usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan
dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.
Pasal 246 KUHD merumuskan tentang asuransi atau
pertanggungan, yaitu :
Suatu perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu prremi
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin akan dideritanya akibat dari suatu
peristiwa tidak tentu.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atu lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asurasi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertetanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Selanjutnya menurut Pasal huruf (a) Undang-undang No.
2 Tahun 1992, usaha asuransi dikelompokkan menjadi 3 jenis
yaitu :
1. Usaha asuransi kerugaian yang memberikanjasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat,
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul
dari peristiw ayang tidak pasti.
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam asuaransi
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa.
Menurut Vollmar dalam bukunya Emmy Pangaribuah
Simanjuntak mengatakan bahwa bentuk dari pertanggungan
jumlah adalah pertanggungan jiwa atau asuransi jiwa. Mengenai
asuransi jiwa para sarjana ada yang mengidentifikasikan dengan
pertanggungan yang tidak sesungguhnya atau yang disebut
sommenverzekering. (Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980 :
195).
Menurut Pasal 302 dan Pasal 303 KUHD merumuskan
bahwa jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan
orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya
maupun untuk waktu yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal
303 KUHD merumuskan bahwa orang yang berkepentingan
dapat mengadakan pertanggungan itu bahkan di luar
pengetahuan atau persetujuan orang yang jiwanya
dipertanggungkan.
Menurut Ketut Sendra, prinsip-prinsip dasar dalam
perasuransian antara lain : itikad baik (utmost good faith),
kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest),
Indemnity subrogasi, dan prinsip kontribusi.
a. Prinsip itikad baik (utmost good faith)
Utmos good faith dari bahasa latin uberrimai fides, yang
dapat diterjemahkan dengan itikad baik, itikad yang amat
baik, bahkan ada yang menerjemahkannya dengan kejujuran
yang sempurna.
Dalam perjanjian asuransi unsur saling percaya antara
penanggung dan tertanggung itu sangat penting.
Penanggung percaya bahwa terteanggung akan memberikan
segala keterangan dengan benar.
b. Prinsip kepentingan yang diasuransikan (insurable interest)
Insurable interest secara harafiah dapat diterjemahkan
sebagai kepentingan yang dapat diasuransikan, atau lebih
tepat lagi kepentingan finansial yang dapat diasuransikan.
Untuk mengetahui kapan timbulnya insurable iterest dapat
dilihat dalam Pasal 250 KUHD yaitu :
Apabila seorang yang telah mengadakan suatu
pertanggungn untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang
untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat
diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu
kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu
maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberi ganti rugi.
(Ketut Sendra, 2004 : 87-88).
Insurable interest menurut KUHD harus ada pada saat
dimulainya pertanggungan. Sedangkan untuk asuransi
umum, kecuali untuk asuransi pengangkutan insurable
interest tersebut harus tetap aa selama berlangsungnya
pertanggungan, yang dimulai dari saat dimulainya
pertanggungan sampai berakhirnya pertanggungan atau
terjadinya klaim. (A. Hasyim Ali, 1993 : 85).
Selanjutnya dalah asuransi jiwa, kepentingan yang dapat
diasuransikan adalah suatu dugaan kerugian yang masuk
akal yang timbul karena meninggalnya orang yang jiwanya
diasuransikan.

B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan
permasalahan yaitu bagaimanakah penerapan asas insurable
interest dalam asuransi jiwa.

C. PEMBAHASAN
Pengertian perjanjian asuransi secara umum terdapat dalam
Pasal 246 KUHD, yang merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan
mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa tidak tentu.

Menurut Purwosutjipto, dikatakan bahwa rumusan Pasal
246 KUHD adalah tepat bagi asuransi kerugian, sebab tujuan
asuransi kerugian itu mengganti kepada tertanggung karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan diderita oleh tertanggung, sebagai akibat suatu
peristiwa tak tentu (Purwosutjipto, 1986 : 6).
Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992
merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung
mengikatkandiri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga,
yang mungkin diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga, yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Mendasarkan pada rumusan tersebut, Abdulkadir
Muhammad berpendapat : Jika dibandingkan dengna definisi
dalam Pasal 246 KUHD, definisi dalam UU No. 2 Tahun 1992
ternyata lebih lengkap dan luas, karena selain meliputi asuransi
kerugian dan asuransi jiwa, juga meliputi pertanggungan tentang
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Abdulkadir
Muhammad, 2002 : 9).
Bentuk pertanggungan jumlah adalah asuransi jiwa,
sedangkan yang dimaksud dengan asuransi jiwa menurut
Purwosutjipto, dikatakan bahwa :
Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara
penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan
mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya
pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung,
sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari
meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau
telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjian,
mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai
penikmatnya. (Purwosutjipto, 1986 : 10).
Selanjutnya Purwosutjipto dengan mensitir pendapat dari
Molengraff, memberikan dua definisi asuransi jiwa dalam arti luas
dan sempit, yaitu :
Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian
tentang pembayaran sejumlah uang pokok (kapital) atau suatu
yang didasarkan atas pembayaran hidup matinya seseorang
(Pasal 308 KUHD), dan karena itu pembayaran uang pokok
atau pembayaran uang premi atau kedua-duanya bagi segala
jenis (pertanggungan jiwa) digantungkan pada hidup matinya
satu atau beberapa orang tertentu.
Sedangkan dalam arti sempit, pertanggungan jiwa adalah
perjanjian tentang pembayaran uang pokok (kapital), satu
jumlah sekaligus pada waktu hidup matinya orang yang
ditunjuk. (Purwosutjipto, 1986 : 9).

Dalam perjanjian asuransi mendasarkan pada syarat sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu
:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Subekti, asas konsensual dapat disimpulkan dari
Pasal 1320 KUHPerdata, karena dalam pasal tersebut tidak
disebutkan formalitas tertentu disamping kesepakatan yang
telah tercapai. Ini berarti bahwa untuk terjadinya suatu
perjanjian cukup bila ada persesuaian kehendak atau
kesepakatan antara para pihak. (Subekti, 1983 : 17).
Selanjutnya menurut Pasal 255 KUHD merumuskan bahwa
asuransi harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang
dinamakan polis. Sedangkan Pasal 257 ayat (1) KUHD
menyebutkan bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika
setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik
dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku sejak saat itu,
bahkan sebelum polisnya ditandatangani.
Mendasarkan pada Pasal 246 KUHD, Abdul Kadir
Muhammad berpendapat bahwa premi adalah salah satu unsur
penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang
harus dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Penanggung
menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung
membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak
dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi
tidak berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh tertanggung
karena tertanggunglah pihak yang berkepentingan. (Abdul Kadir
Muhammad, 2002 : 103).
Sedangkan menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak
berpendapat bahwa :
Fungsi premi adalah merupakan harga pembelian dari
tanggungan yang wajib diberikan oleh penanggung atau
sebagai imbalan dari risiko yang diperalihkan dari tertanggung.
(Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980 : 41).
Mengenai polis pertanggungan jiwa diatur secara khusus
dalam Pasal 304 KUHD, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Hari ditutupnya pertanggungan
Hari dan tanggal ditutupnya pertanggungan perlu disebut
dalam polis untuk mengetahui kapan mulai masa
pertanggungan, dalam jangka waktu mana risiko menjadi
beban penanggung.
b. Nama tertanggung
c. Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan.
d. Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si
penanggung.
e. Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan, jumlah
pertanggungan ialah suatu jumlah uang tertentu yang
diperjanjikan pada saat ditutupnya pertanggungan sebagai
jumlah santunan yang harus dibayarkan oleh penanggung.
f. Premi pertanggungan tersebut. Uang premi ialah sejumlah
uang yang harus dibayarkan oleh penutup asuransi kepada
penanggung setiap bulan atau tiap suatu jangka waktu
tertentu selama jalannya pertanggungan. (Purwosutjipto,
1986 : 121).
Berkaitan dengan asuransi jiwa (menurut hukum Inggris
maupun KUHD) insurable interest harus ada pada saat dimulainya
pertanggungan. Sedangkan untuk asuransi umum, kecuali untuk
asuransi pengangkutan insurable interest tersebut harus tetap ada
selama berlangsungnya pertanggungan, yang dimulai dari saat
dimulainya pertanggungan sampai berakhirnya pertanggungan atau
terjadinya klaim.
Insurable interest dapat diartikan sebasgai hak yang sah yang
dimilki seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan
keuangannya pada obyek pertanggungan, sehingga jika terjadi
suatu peristiwa merugikan yang menimpa obyek pertanggungan,
tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. (Ketut Sendra,
2004 : 96).
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bisa disimpulkan
bahwa asuransi atas kehidupan seseorang tidak sah apabila
tertanggung atau pemegang polis tidak mempunyai insurable
interest atas hidup atau kehidupan dari orang yang menjadi obyek
pertanggungan. Dalam asuransi atas harta benda, tanpa didukung
oleh insurable interest sama halnya dengan perjudian, sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam asuransi insurable interest timbul karena :
1. Hubungan darah
Menurut aturan mayoritas, orang tua mempunyai insurable
interest atas hidup anaknya dan demikian juga sebaliknya. Kakek
dan nenek juga mempunyai insurable interest atas cucunya dan
sebaliknya dengan kakak dan adik. Namun paman atau bibi,
keponakan serta sepupu tidak mempunyai insurable interest
karena hubungan darah yang tidak dekat kecuali mereka
mempunyai hubungan bisnis.
2. Hubungan perkawinan
Suami isteri mempunyai insurable interest atas diri pasangannya,
bahkan beberapa pengadilan menyatakan bahwa pertunangan
dapat menimbulkan hubungan insurable interest. Hubungan
akibat perkawinan selain suami isteri, misalnya anak tiri, tiak
mempunyai insurable interest kecuali anak tiri tersebut
mendapatkan dukungan keuangan.
3. Hubungan bisnis
Pada banyak hubungan bisnis kematian dini satu pihak dapat
menimbulkan kerugian finansial yang cukup besar bagi pihak
lain. Oleh karena itu, pihak-pihak yang mempunyai hubungan
bisnis mempunyai insurable interest atas hidup pihak lain. (Ketut
Sendra, 2004 : 97).
Menurut A. Hasyim Ali dalam asuransi jiwa, doktrin
kepentingan yang dapat diasuransikan berlaku bagi setiap hal,
kecuali apabila seseorang membeli polis asuransi jiwa atas
hidupnya sendiri. Dalam hal ini, ia tidak akan dapat memenuhi
persyaratan kepentingan yang dapat diasuransikan sebab pada
waktu nilai nominal polis itu dibayarkan, ia sangat mungkin telah
meninggal, dan dalam hal yang demikian ia tidak menderita suatu
kerugian keuangan. Banyak penulis yang menyatakan bahwa siapa
saja dianggap mempunyai kepentingan tak terbatas yang dapat
diasuransikan atas hidupnya sendiri. Walaupun paham ini mudah
dimengerti oleh mahasiswa namun sulit mencocokkan dengan
definisi kepentingan yang dapat diasuransikan. Itulah sebabnya,
hukum menetapkan bahwa kepentingan yang dapat diasuransikan
tidak perlu apabila seseorang membeli asuransi jiwa atas dirinya
sendiri. Perseorangan juga diizinkan oleh hukum untuk menunjuk
seseorang beneficiary (pihak yang berkepentingan) yang
disukainya untuk menagih hasil plis yang dibelinya atas dirinya
sendiri. (A. Hasyim Ali, 1993 : 90).
Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, biasanya
diperjanjikan bahwa pembayaran sejumlah uang dari penanggung
itu akan dibayarkan kepada seorang lain apabila pemegang polis itu
meninggal dunia. Orang lain inilah yang disebut dengan orang yang
berkepentingan. Perjanjian pertanggungan tersebut di dalam hal
yang demikian adalah merupakan perjanjjian yang dimaksud di
dalam Pasal 1317 KUHPerdata. (Emmy Pangaribuan
Simanjuntak, 1980 : 98).
Sedangkan menurut A. Hasyim Ali memahami arti
kepentingan yang dapat diasuransikan dalam asuransi jiwa, tiga
istilah perlu dipahami yaitu subyek, pemilik dan beneficiary (pihak
yang berkepentingan). Subyek adalah orang yang kematiannya
menyebabkan pembayaran polis. Pemilik adalah orang yang
berwenang untuk melaksanakan semua hak dalam polis itu.
Beneficiary adalah orang yang berhak atas hasil polis itu pada
waktu meninggalnya subyek. Ketiga pihak ini atau dua pihak dapat
merupakan pihak yang sama. (A. Hasyim Ali, 1993 : 90).

D. KESIMPULAN
Penerapan prinsip insurable interest dalam asuransi Jiwa
mendasarkan pada Pasal 250 KUHD, hal ini dilihat dari kepentingan
yang bersifat immateriil, yang bersifat hubungan kekeluargaan dan
hubungan cinta kasih antar anggota keluarga yang menyangkut
risiko hidup dan meninggalnya tertanggung. Insurable interest
tersebut harus ada pada saat mulai berlakunya pertanggungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasyim Asuransi, Pengantar Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta.
1993.

Muhammad Abdul Kadir, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Jilid 6,
Djambatan, Jakarta. 1986.

Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan, Liberty,
Yogyakarta, 1980.

Subekti, Prof., Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta. 1983.

Sendra, Ketut, Konsep dan Penerapan Asuransi Jiwa Unit Link,
PPM, Yogyakarta, 2004.

(lebih…)

Read Full Post »

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Read Full Post »